Sabtu, 23 Agustus 2008

MEMETIK BANJAR DARI POLEMIK


Agus R. Sarjono

Penyair dan esais. Redaktur Horison, Ketua DPH DKJ (2003–2006)

Berawal dari esai Jamal T. Suryanata yang ditanggapi Sainul, merebaklah polemik sastra Banjar. Sejujurnya, ketika diminta saudara Sainul untuk memberi pengantar atau catatan atas polemik ini, saya bahagia sekaligus tegang. Bahagia karena saya dilibatkan dalam pembicaraan para sahabat, tegang karena kesibukan saya yang menggila belakangan ini membuat saya mungkin tidak sanggup menepati janji sesuai tenggat alias deadline. Maka saya putuskan untuk membaca tulisan-tulisan yang banyak itu dengan jurus pamungkas seorang “redaktur sejati”, yakni membaca sekilas alias membaca cepat alias skiming untuk menangkap kesan umum, kemudian mencoba menuliskan tanggapan.

Sepulang dari beterbangan kian-kemari, saya buka file yang dikirim via email tersebut dan mulai membacanya. Namun ternyata niat membaca sekilas itu tidak tercapai. Tanpa sadar saya terserap dengan asyik oleh tulisan-tulisan itu. Saya tergoda bukan hanya oleh apa yang dituliskan, melainkan terutama apa yang tidak dituliskan.

Tulisan Jamal T. Suryanata (JTS) yang mengungkapkan keresahannya melihat fenomena Sastra Banjar yang bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau, akibat kurangnya perhatian, membangunkan banyak fihak untuk menanggapinya yang dimulai dengan tanggapan Sainul. Makin lama nada polemik rupanya makin keras dan makin melibatkan emosi para penulisnya. Persoalan Sastra Banjar ternyata melibatkan hati dan emosi selain akal fikiran. Mungkin ada yang menyesalkan keterlibatan emosi ini, namun saya pribadi tidak keberatan.

Jika kita telusuri jalannya polemik, ternyata polemik Sastra Banjar tersebut –disadari atau tidak–berjalan dalam dua tataran yang tidak selalu sejalan, meski bukan tidak berhubungan. Kedua tataran tersebut adalah (sebut saja) “tataran teoretis akademis” dan “tataran praktis kepengarangan”. Keduanya dalam polemik ini tidak tidak selalu bertemu dan bersambut gayung. Tidak jarang satu fihak yang berbicara mengenai tataran kajian akademis dijawab dan ditanggapi dari perspektif dan tataran praktis kepengarangan, atau sebaliknya. Beberapa percik api yang muncul dalam polemik ini seringkali akibat dua tataran yang berbeda ini.

Lepas dari argumentasi-argumentasinya, apa yang digelisahkan JTS masuk akal dan sahih: mengapa sastra (berbahasa) Banjar tidak mendapat perhatian sepatutnya, baik bagi kalangan masyarakat Banjar secara umum, maupun terutama kalangan akademis. Saya kira, kegelisahan inilah yang mengantarkan dia menuliskan karangannya dalam bentuk esai dan bukan dalam bentuk makalah ilmiah. Bentuk esai menyediakan jalan bagi JTS untuk membicarakan pokok soal Sastra Banjar tanpa harus melalui liku-liku definisi atau rumusan serta penjelasan akademis. Tanggapan Sainul justru langsung menuju ke urusan definisi dan rumusan akademis dengan memperkarakan kesahihan teoretis –sekurang-kurangnya kekukuhan jalinan argumentasi JTS dalam urusan rumusan sastra Banjar itu sendiri.

JTS yang diterjang bangunan teoretisnya –sesuatu yang tidak selalu harus ada dalam sebuah karangan esai– dalam jawaban-jawabannya segera menyusuli bentuk esai itu dengan penjelasan-penjelasan “teoretis” dengan menggelar paparan definisi Sastra Banjar dan selanjutnya tema ini lah yang menjadi tema utama polemik. Kegelisahan awal, yakni nasib Sastra Banjar, sudah tidak terlalu kerap lagi dibicarakan.

Di sisi lain, Sainul memperkarakan definisi dan jalinan teoretis esai JTS bisa diasalkan pada kecemasannya bahwa perhatian dan semangat berlebih pada Sastra Banjar akan berujung pada pengertian Sastra Banjar sebagai sebuah konsep tertutup sehingga Banjar tidak lagi menjadi sebuah pengertian deskripsi melainkan menjadi pengertian preskripsi, tidak objektif melainkan ideologis. Kecemasan yang sama muncul pada Jarkasi yang dengan nada lebih rileks mencoba meluaskan pengertian Sastra Banjar menjadi lebih elastis –gembrot– dalam istilah Sainul. Para penanggap lain, memasukkan diri dalam dua tataran yang digelar JTS dan Sainul, sedapat mungkin dengan argumentasi dan pandangannya sendiri, tentu.

Dari dua hal ini, ternyata JTS yang sastrawan makin lama makin mendekati posisi akademis dan di sisi lain Sainul dan Jarkasi yang akademis makin lama makin mendekati posisi seorang sastrawan.

Sebenarnya, menggelisahkan kelangsungan Sastra Banjar jelas masuk akal dan dalam banyak hal diperlukan. Di sisi lain, menggelisahkan kemungkinan budaya Banjar menjadi budaya yang tertutup dan lebih gawat lagi menjadi chauvinistis, bukan hanya kegelisahan yang wajar melainkan juga patut disadari. Maka, sekali lagi, pada dasarnya polemik ini adalah polemik antara kegelisahan melihat sastra Banjar bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau vs kecemasan jangan-jangan semangat menggebu untuk menghidupkan sastra Banjar dan semangat kebanjaran ini tiba pada motto Banjar uber alles yang ketika dipraktekkan di Jerman pada zaman Nazi membuat Jerman bangkrut itu.

Kedua kekhawatiran itu masuk akal, namun sayang tidak adanya benih yang memungkinkan –sejauh terlihat pada semua tulisan dalam polemik ini– kita tiba pada apa yang dicemaskan.

Apa yang dituliskan JTS pada awal polemik ini, sebenarnya sesuatu yang sangat relevan bagi dunia akademis, namun kurang begitu relevan bagi dunia sastra dan kesastrawanan di Banjar. Sementara tulisan Sainul dan Jarkasi sangat relevan bagi dunia kesastrawanan Banjar, namun kurang begitu relevan bagi dunia akademis di Banjar.

Apa yang digelisahkan dan ditengarai JTS dalam banyak hal adalah juga apa yang digelisahkan dan ditengarai oleh Abdul Hadi WM. Dengan cukup keras Abdul Hadi mengecam Universitas Indonesia karena di Fakultas Ilmu Budaya (dulu Fakultas Sastra) terdapat pusat kajian Jepang, Pusat Kajian Amerika, dan Pusat Kajian Cina, misalnya, namun tidak ada Pusat Kajian Melayu, Pusat Kajian Hindu-Budha, atau Pusat Kajian Islam. Abdul Hadi berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia berdiri di atas pilar agama Hindu-Budha dan agama Islam. Agama Hindu Budha lah yang melahirkan khasanah sastra agung berupa kakawin-kakawin besar serta karya agung seperti Arjuna Wiwaha dan sebagainya. Sementara tidak lain tidak bukan agama Islam lah yang melahirkan khasanah sastra agung berupa syair dan hikayat serta pantun. Bagaimana mungkin –demikian Abdul Hadi, kita sibuk membuka kajian-kajian asing dan lupa membuka kajian bagi pilar-pilar penting budaya dan sastra di Indonesia. Bagaimana mungkin kita sibuk melakukan penelitian sastra lisan sementara khasanah sastra tulis yang agung dan berlimpah diabaikan. Sastra lisan, demikian Abdul Hadi, lahir dari tradisi-tradisi kecil yang belum menghasilkan aksara; sementara tradisi tulis lahir dari tradisi-tradisi besar.

Saya tidak akan memberi catatan atas ditel argumen Abdul Hadi yang mungkin tidak saya setujui, karena secara umum saya setuju dengan keberatannya. Ditilik dari segi itu, memang sangatlah wajar jika Universitas terpandang di Banjarmasin memiliki Pusat Kajian Banjar, termasuk pusat kajian sastra Banjar. Adalah wajar pula jika universitas terpandang di Banjarmasin memasukkan khasanah Sastra Banjar dalam kurikulum fakultas sastranya. Hanya universitas terpandang di Banjar sendirilah yang berhak dan patut menjadikan sastra berbahasa Banjar sebagai bidang kajian yang hasil-hasilnya kelak dipersembahkan bagi pengayaan mosaik keindonesiaan kita.

Jika demikian apakah yang disebut sastra Banjar? Saya tidak akan ikut dalam polemik ini dengan ikut berkutat mendiskusikan definisi sastra Banjar. Jika kegelisahan itu disepakati, fihak universitas mendirikan Pusat Kajian Budaya dan Sastra Banjar, fihak Pemda memberi dukungan politik dan dana bagi pusat kajian bersangkutan, maka persoalan definisi mulai dapat dilakukan. Sebelum itu, penelitian dapat didasarkan pada rumusan yang sederhana bahwa Sastra Banjar adalah Sastra yang ditulis dalam bahasa Banjar. Apakah isinya berupa sikap budaya atau etnologi Banjar atau bukan, itu urusan kemudian. Bukan tidak mungkin Sastra Banjar jumlahnya kemudian melimpah dan setelah diteliti kita tidak menemukan kebanjaran pada sastra Banjar. Mengapa hal itu terjadi, apa sebabnya secara sosiologis, psikologis, dsb., tentu merupakan tugas-tugas kajian dan penelitian berikutnya. Boleh jadi, setelah kajian-kajian dan penelitian-penelitian, rumusan mengenai apa dan bagaimana Sastra Banjar dapat dilakukan kembali dengan lebih sahih dan kokoh.

Namun, apakah maruah, jiwa, kegelisahan, dan impian manusia Banjar hanya bisa dikemukakan dalam sastra berbahasa Banjar? Ini masalah yang lain lagi. Kebanjaran bisa lahir dengan kuat dalam sastra (berbahasa) Banjar di tangan seorang sastrawan hebat yang menguasai bahasa Banjar dengan hebat dan menguasai duka gelisah manusia Banjar dengan sepenuh hati dan pikirannya. Sekalipun demikian, kebanjaran sudah barang tentu bisa lahir dengan tidak kalah kuatnya dalam sastra (berbahasa) Indonesia, bahkan dalam sastra berbahasa Inggris atau bahasa Urdu sekalipun. Dunia Maluku dengan mitos dan impian serta kegelisahan Maluku dengan baik sekali dituliskan Maria Dermout (dengan bahasa Belanda, tentu) dalam novelnya Ten Duizen Dingen, sebuah novel yang cukup berwibawa dalam khasanah sastra Belanda. Hingga kini, tak seorang pengarang Indonesia pun –apalagi pengarang Maluku– yang berhasil mengatasi kegemilangan karya Dermout tersebut.

Masalah utama dunia sastra di Indonesia adalah masalah penguasaan yang benar-benar mumpuni (mastery) atas bahasa yang digunakan sang sastrawan. Masalah utama lainnya adalah penguasaan yang benar-benar mumpuni dan mastery atas bahan yang hendak dituliskan.

Alhasil, bagi sastrawan Banjar tidak penting benar apakah ia akan menulis dalam bahasa Banjar mengenai soal Banjar, menulis dalam bahasa Banjar mengenai soal bukan Banjar, menulis dalam bahasa Indonesia mengenai soal Banjar, maupun menulis dalam bahasa Indonesia mengenai soal bukan Banjar. Yang penting adalah seberapa kenal ia dengan apa yang ditulisnya, seberapa hidup ia menuliskannya, dan seberapa gemilang pencapaian sastrawinya.

Sudah sejak lama dalam berbagai tulisan dan seminar saya mengusulkan sastrawan Indonesia untuk mengolah dan menulis yang “lokal”. Sebagian daripadanya terdapat dalam buku saya Sastra dalam Empat Orba (2001). Saya senantiasa beranggapan bahwa peluang penulis sastra Indonesia, khususnya para penulis di berbagai daerah di Indonesia, adalah justru menghasilkan karya yang kuat berakar pada lokalitas. Jika saya menyebut kata lokalitas, sama sekali saya tidak memaksudkannya sebagai warna lokal, sebagaimana pernah menjadi trend sastra Indonesia pada tahun 80-an. Lokalitas tidak lain tidak bukan adalah keterlibatan dan perhatian yang sungguh-sungguh seorang sastrawan atas tempatnya berpijak, pada persoalan yang ada di depan hidungnya, pada lingkungannya yang paling akrab dengan fikiran, nadi dan kalbunya. Toni Morisson menulis novel hebat Beloved tidak lain tidak bukan mengenai problem kulit berwarna dengan segala duka derita, impian dan gelisahnya. Ia menulis sebagai seorang kulit hitam, meskipun menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya adalah bahasa Inggris kulit hitam, bukan bahasa Inggris Hemingway. Demikian pula dengan gao Xingjian yang meskipun exile ke Perancis, ia menggali memori tanah kelahirannya dan melakukan perjalanan napak tilas ke negerinya untuk menghasilkan karya besarnya Lingshan. Hal ini juga berlaku pada V.S. Naipaul yang menulis novel-novel khas seperti A House for Mr. Biswas, serta A Bend on the River .

Tidak diragukan lagi bahwa Shakespeare adalah sastrawan Inggris yang agung. Namun, hampir dipastikan ia tidak akan mampu menulis novel seperti A House for Mr. Biswas Naipaul; demikian pula dengan Hemingway, tidak bakal mungkin ia mampu menulis novel seperti Beloved Toni Morisson. Semua novel ini ditulis dalam bahasa Inggris, namun jiwa Black American Morisson dan jiwa India Naipaul berdenyut dalam setiap frasa dan kalimat-kalimatnya.

Sebaliknya, sajak-sajak Godi Suwarna dalam bahasa Sunda, khususnya yang terkumpul dalam bukunya Blues Kere Lauk (Blues Dendeng Ikan) sarat dengan tema-tema asing seperti “Gran Prix”, “Black Sabbath”, “Jim Morisson” dan sebagainya. Apakah dengan demikian ia kehilangan kesundaannya? Justru tidak. Dengan sangat kuat sajak-sajak Godi menunjukkan bagaimana manusia Sunda menanggapi dan berkutat dengan persoalan globalisme yang menghantam harmoni tanah Priangan. Di saat yang sama, dengan mudah kita temukan karya sastra Sunda yang bertema seolah-olah Sunda dan ditulis dalam bahasa Sunda sama sekali tidak menunjukkan kesundaan. Hal ini menjadi jelas manakala diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan adalah salah satu cara menguji karya sastra. Jika sebuah novel berbahasa Banjar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi Indonesia, maka kebanjaran tidak lain hanya sebatas bahasa, meskipun dia merupakan khasanah sastra Banjar. Banyak sastra Indonesia jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris langsung menciut menjadi gema dari sastra Inggris atau Amerika yang gagal.

Saya percaya bahwa sastra besar di Indonesia—dalam bahasa Indonesia atau daerah—hanya bisa dihasilkan jika pengarangnya benar-benar masuk dan mengolah lokalitasnya masing-masing. Upaya mengharukan untuk tersaruk-saruk menjadi murid sastra dunia (baca: Barat) hanya akan menghasilkan murid abadi yang tak lulus-lulus. Salah satu pelajaran bagi calon penulis adalah copy the master alias meniru sang maestro. Tahapan ini adalah tahapan awal yang harus segera ditinggalkan oleh calon penulis untuk menjadi penulis sejati. Mengingat berlimpahnya sang maestro sastra di dunia ini, maka mereka yang gemar copy the master akan menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengcopy-copy sang master tanpa berpeluang untuk menjadi master. Dalam biografinya, Gabriel Garcia Marquez mengakui sangat mengagumi Hemingway dan berteriak memanggilnya “Maestro!!” Namun, jika saja Marquez bermental penulis modis yang bertebaran di Indonesia, maka sudah dipastikan dunia tidak akan mengenal sang maestro bernama Marquez yang bahkan melampaui kepiawaian Hemingway.

Seorang sastrawan, Banjar misalnya, yang menulis urusan-urusan umum dengan perspektif dan gaya berpuisi yang dipatok media massa tidak akan pernah sampai ke mana-mana. Mungkin satu dua sajak atau cerpennya bisa dimuat di media massa Jakarta, tapi tidak pernah akan menjadi sastrawan sesungguhnya. Sastrawan sejati tidak gelisah hanya karena tidak dimuat di media besar atau tidak ditahbiskan oleh orang pusat, tapi ia benar-benar gelisah jika tidak menghasilkan karya besar. Dan karya besar hanya bisa dilahirkan jika dia menuliskan urusan-urusan yang diketahui dan dikuasainya dengan akrab dan mendalam, yakni urusan-urusan yang berdenyut dalam urat darahnya, menyusup dalam mimpi-mimpinya, dan menggelisahkan hari-harinya. Dan semua itu, kehidupan yang dekat dengan diri dan hatinya, dituliskan dengan bahasa yang dikuasainya dengan baik mulai dari sistemnya hingga nuansa-nuansanya. Dari sini bisa lahir dunia Banjar yang ditulis oleh pendatang Madura atau Batak, dunia Banjar yang ditulis oleh orang Banjar pedalaman, dunia Banjar yang ditulis oleh orang Banjar yang tinggal di kota, dunia batin manusia Banjar yang bermuka-muka dengan budaya lain, dan sebagainya. Apakah persoalan ini akan ditulis dalam bahasa Banjar atau bukan tentu bergantung pada bahasa yang secara mumpuni dikuasai penulis bersangkutan. Apakah bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Banjar atau bahasa Indonesia atau bahasa Urdu atau bahasa Inggris, sama sekali bukan persoalan seorang sastrawan. Seorang sastrawan akan menuliskan dengan bahasa yang dikuasainya dengan mantap, karena bukan menjadi urusan sastrawan sejati apakah ia termasuk sastrawan Banjar, sastrawan inggris, sastrawan Indonesia atau sastrawan Zimbabwe.

Benar bahwa dunia batin dan dunia budaya Banjar akan terdedah dengan baik jika ditulis dengan bahasa Banjar, karena bahasa Banjar memang kompatibel bagi budaya Banjar. Namun, seorang pengarang yang menguasai bahasa Indonesia (bahkan Inggris) dengan baik akan mampu mencari jalan untuk mengungkapkan dunia batin dan budaya Banjar dengan bahasa Indonesia atau Inggris, dengan tantangan yang berbeda dengan jika ia menulis dalam bahasa yang kompatibel dengan dunia batin dan budaya yang ditulisnya. Ajip Rosidi pernah mengutip sepenggal karya Haji Hasan Mustapa dalam bahasa Sunda yang penuh dengan permainan bunyi, sambil mengatakan bahwa sajak ini mustahil diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan permainan bunyinya. Karena penasaran, kami mencoba, ternyata sajak itu bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pengalaman saya menerjemahkan sajak-sajak penyair besar Jerman dalam rangka Seri Puisi Jerman menunjukkan bahwa pada dasarnya bahasa memiliki pula sifat generic sehingga dapat saling diterjemahkan. Maka dunia Jerman pun bertransformasi dalam bahasa Indonesia lewat terjemahan. Sebaliknya pun demikian bila sastra Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Benar apa yang dikemukakan Jose Saramago, bahwa “sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasional. Sastra dunia diciptakan oleh penerjemah”. Untuk kasus Indonesia ia bisa berbunyi, sastrawan Banjar (dan daerah lain) dengan bahasanya menciptakan sastra Banjar (dan sastra daerah lain). Sastra Indonesia diciptakan oleh penerjemah (ke dalam bahasa Indonesia). Bagi sastrawan Banjar yang akan menulis dalam bahasa Banjar, pendapat Saramago ini dapat dijadikan pegangan. Sejak lama saya menyerukan perlunya menerjemahkan sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia. Maka jika sastrawan Banjar menulis dalam bahasa Banjar, menjadi tugas Pusat Kajian Budaya dan Sastra Banjar lah untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia agar menjadi bagian dari sastra Indonesia.

Ada persoalan yang tidak produktif namun laten dalam sastra di Indonesia, yakni kegelisahan sastrawan untuk diakui pusat dan menulis dengan selera pusat. Pusat, adalah sebuah mitos dan boleh jadi ilusi. Ini berani saya katakan karena lebih dari 6 tahun saya berdiam di lembaga yang dianggap pusat dalam sastra Indonesia, yakni majalah Horison dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Sebagai redaktur majalah Horison dan Ketua Komite Sastra DKJ, kemudian salah seorang Ketua Dewan Pengurus Harian DKJ, saya melihat dan menyadari bahwa potensi sastra justru berdiam di daerah-daerah. Baik dalam Horison maupun di DKJ—sekurang-kurangnya periode saya—kami menolak adanya mazhab sastra tertentu sebagai mazhab panutan. Hal ini bisa diuji dengan membaca karya yang dimuat di Horison atau menilik sastrawan yang ditampilkan atau diterbitkan DKJ. Niscaya akan didapati beragamnya gaya dan mazhab estetik. Mengapa? Karena seorang sastrawan sejati tidak patut mematut-matut diri untuk sesuai dengan selera estetik media manapun atau so called tokoh-tokoh sastra manapun agar bisa dimuat atau diberi kesempatan. Estetika dan gaya sastra yang otentik niscaya lahir dari pergulatan yang otentik dengan kehidupan sang sastrawan. Gaya estetik bukanlah baju dalam fashion shows yang dengan mudah dipasang dan dicopot peragawati tergantung selera desainer tertentu. Sastrawan Banjar yang menuliskan persoalan yang hidup di tanahnya dengan segala duka gelisahnya niscaya menghasilkan karya yang tak tergantikan dan tidak bisa ditulis oleh Rendra, Sutardji, Goenawan Mohammad atau siapapun, sebagaimana Ronggeng Dukuh Paruk tidak mungkin bisa ditulis oleh bukan Ahmad Tohari.

Hikmah yang didapat dari polemik panjang ini adalah kita diajak kembali merenungi dan memandang ulang sastra Banjar, jiwa Banjar, budaya Banjar, impian Banjar. Semoga nikmat perdebatan ini segera disusul oleh nikmat perbuatan, yakni segera berdirinya lembaga kajian budaya dan sastra Banjar di universitas terpandang di Banjar, meningkatnya perhatian serta dukungan—baik politik maupun finansial—dari pemerintah daerah, serta semaraknya penulisan karya-karya agung di Banjar yang dimasyarakatkan dan diperkenalkan lewat berbagai cara—pendidikan resmi dan pemasyarakatan di media setempat. Juga semoga dunia batin dan budaya serta kegelisahan dan impian masyarakat Banjar yang merupakan ladang emas dan uranium yang hebat dapat ditambang dan digali sendiri oleh para sastrawan Banjar menjadi karya-karya emas dalam sastra Indonesia. Saya menunggu hasilnya sambil bersedia-sedia membantu sebisa mungkin jika memang diperlukan.

Terakhir, semoga polemik ini tidak berakhir seperti pantun berikut ini:

Jarum jahit penusuk bulan

Tiba di bulan patah tiga

Di langit tanda kan hujan

Di bumi setetes tiada.

Salam.

Agus R. Sarjono. Penyair dan esais. Redaktur Horison, Ketua DPH DKJ (2003–2006).

SASTRA BANJAR DAN SASTRAWAN BANJAR DI INDONESIA

Oleh Harie Insani Putra

Nyatanya bahasa begitu penting dalam kebudayaan, sama halnya terhadap karya sastra. Untuk menentukan identitas, Indonesia mengadopsi kalimat essay menjadi esai, short story menjadi cerita pendek, poem/poetry menjadi puisi. Modernisasi reformis adalah gejala budaya kita di Indonesia yang saling mempengaruhi di antara semua, terlebih pada sastra Indonesia. Kita adopsi modernisasi dengan menyesuaikan warisan-warisan budaya yang ada di Indonesia tanpa harus menerima western modernismeseutuhnya. Salah satunya adalah bahasa Indonesia untuk menunjukan identitas keindonesiaannya, untuk menulis cerpen, bahasa Indonesia menunjukkan bahwa cerpen tersebut adalah karya sastra Indonesia.

Soal identitas, tulisan ini akan disebut esai, tidak dikatakan cerpen atau puisi karena kita akan merujuk pada identitas yang sudah jelas. Tapi jika tulisan ini menggunakan bahasa Banjar apakah disebut esai Banjar. Jika demikian harusnya bermunculan label Banjar seperti Cerpen Banjar, Puisi Banjar, Esai Banjar, Novel Banjar yang hasilnya mengadopsi identitas yang mulanya juga adopsian. Sebenarnya Banjar tidak mengadopsi macamnya Indonesia, hanya saja menambahkan nama etnis sebagai identitas barunya. Disebut apapun, kenyataannya, pada estetika karya, Indonesia lagi-lagi kebanyakan mengadopsi teknik dan bentuk-bentuk short story dalam cerpen Indonesia. Betapa riskan dan minimnya penggalian identitas untuk disebut sastra Indonesia. Apakah nanti sastra Banjar juga demikian, punya beda hanya dari segi bahasa tapi segala teknik, bentuk dan isi sama saja dengan yang diadopsinya. Indonesia kaya budaya, Banjar juga majemuk dengan nilai-nilai historisnya, tidak kita gali hanya gara-gara masuk jaring dusta, ini lho Banjar, begini lho Indonesia, padahal kita sedang terperangkap pada kuantitas dalam memahami arti identitas.

Dalam kumpulan esai sastra ‘solilokui’ Budi Darma, dia mengisahkan tentang perjalanan seorang bernama Nirdawat ke berbagai negara. Sebelumnya Nirdawat berucap “Pengarang yang baik adalah pengarang yang dapat menciptakan tradisi.” Setelah sering berkunjung ke beberapa negara, barulah disadari oleh Nirdawat bahwa para pencipta tradisi di tanah air ternyata menirunya dari sana, bahkan ketika sampai Belanda, Nirdawat tak bisa mengelak, dia menemukan buku yang membicarakan dirinya “Kritikus Anting-Anting” cerpennya itu dibandingkan dengan sebuah novel Austria. Nirdawat hanya diam, dia memang mengagumi Pafpof pengarang novel itu tetapi dia tidak pernah merasa dipengaruhinya dan “Kritikus Anting-Anting” sendiri telah membentuk tradisi tersendiri dalam penulisan cerpen di Indonesia.

Anggap saja kisah di atas untuk penyegaran kita terhadap kondisi yang mana saling menginspirasikan. Dalam perbincangan sastra Banjar, kita masih dalam penentuan definisi yang baru akan diperjelas. Semoga sajalah sampai pada esensi sebuah karya sastra, khususnya Banjar. Memang tawaran bahasa Indonesia masuk ke dalam sastra Banjar tentunya akan berdampak luas terhadap perkembangan sastra Banjar karena kita pun juga tahu bahwa sastra daerah sulit berkembang di daerahnya sendiri apalagi di daerah lain. Tapi masalahnya tidak semudah itu, apa yang sudah diungkapkan Sainul Hermawan dalam usahanya menggali daerah dengan bahasa Indonesia sebenarnya juga adalah tema hangat yang sedang ramai dibicarakan di pentas nasional oleh orang-orang daerah yang kemudian menjadi nasional. Misalnya, Radhar Panca Dahana dalam buku Kebenaran dan Dusta dalam Sastra menyinggung sastrawan cenderung mengangkat isu-isu universal, justru latar belakang etnis ataupun kebudayaan tempatnya berada tidak sedikitpun mempengaruhi karya-karya mereka. Tidak ada yang unik dari Jogja, Bali, Solo, Tegal, Cirebon, semua berbondong menyesuaikan tema nasional yang universal.

Perhatikan saja cerpen Jawa Pos, Kompas, Media Indonesia. Tapi, meskipun begitu, tidak semua, masih ada sastrawan nasional dengan gaya nasionalnya mampu bicara tentang daerah. Mereka gunakan pola-pola penyampaian yang dapat diikuti secara nasional dan tetap menarik melalui teknik bercerita yang terus digali, tidak itu-itu saja. Ini kiranya harapan kita semua. Kita perkenalkan Banjar dengan kemampuan bahasa yang lebih mudah dimengerti banyak orang. Daerah kita usung ke nasional tentunya juga dengan bahasa nasional sebagai medianya. Kita juga tidak harus bergantung pada koran nasional, banyak media alternatif yang tak kalah efisien menyebarluaskan karya kita sekaligus materi yang ditawarkannya. Hanya tinggal kita mau tidak berusaha mencari dan menyebarluaskannya ke sana, bukan mengeluh, duduk, menunggu tapi mengejar dan belajar. Saya tidak ingin menyebut nama tapi saya yakin 60% sastrawan kita gagap teknologi. Mudah-mudahan tidak gagap informasi. Fasilitas internet menunjang kita untuk mengetahui perkembangan sastra sampai tingkatan dunia bukan mengurung diri dan asyik dengan dunia sepinya sendiri, marginalitas dan kepasrahan yang diagung-agungkan, merasa sudah cukup puas dengan apa yang sudah didapatnya tapi juga asyik mengeluh secara diam-diam. Apalagi yang bersifat daerah, prestis sentralistik Orde Baru menganggap popularitas hanya didapat dari cara yang satu saja. Padahal, sejak tahun 1990-an, dikatakan oleh Ahmadun Yosi Herfanda, sastrawan dan wartawan Republika, yang disiarkan dalam milis sastra Internet, bahwa konstelasi sastra Indonesia sudah terpecah (terdekonstruksi) sebagai bentuk perlawanan terhadap pusat Jakarta dengan TIM (DKJ) dan Horison-nya. Sejak didirikan pada awal 1970-an, memang DKJ dengan TIM-nya, berhasil mencitrakan diri sebagai 'pusat sastra' nasional yang berwibawa. Sastrawan belum dianggap berkelas nasional jika belum 'dibaptis' oleh mereka. Demikian juga majalah Horison, sebelum sastra koran membagi perannya, dianggap sebagai satu-satunya 'kiblat kualitatif' dan puncak prestasi estetik sastra Indonesia. Padahal pusat-pusat lain bisa saja dimunculkan dengan kemungkinan akses ke media massa tidak kalah dibanding DKJ-TIM. Banyak sastrawan berpendapat bahwa peran pusat nilai sastra harus dibagi, sehingga peluang bagi para penulis daerah dan Jakarta sendiri terbuka semakin luas untuk diakui secara nasional.

Jika seorang sastrawan Banjar menulis dengan bahasa Indonesia kemudian disebut bukan sastrawan Banjar padahal yang ditulisnya soal Banjar, rada aneh juga, terkesan betapa tergesanya disimpulkan. Sastra Banjar dan sastrawan Banjar punya perbedaan yang mendasar. Sastrawan Banjar dengan bahasa Indonesia lebih mampu meluaskan Banjar kepada masyarakat Indonesia di sudut manapun. Hemat saya, bukan bahasa tok yang ingin diperkenalkan tapi sekian banyaknya sisi lain tentang Banjar itu sendiri.

Apakah karena ditulis dalam bahasa Indonesia lalu bukan sebagai sastra Banjar? Boleh jadi “Ya”, tapi perlu dicatat, kita belum sepakat dan mereka adalah juga sastrawan Banjar sekaligus sastrawan Indonesia terlepas daripada pengakuan para arogansi ‘paus-paus sastra ibukota’. Tapi bukan lantas untuk menyikapi kondisi sastra Banjar yang limbung para sastrawan Banjar bersama para kritikusnya saling menawarkan “Suka Banjar yang Banjar atau Indonesia yang Banjar?” dengan memberikan dua pilihan yang jelas-jelas memiliki perbedaan yang mendasar. Ada beda sastra Banjar dan sastrawan Banjar apalagi kita belum masuk pada masalah kondisi bersastra di daerah maupun di Indonesia. Kita harap urang Banjar sendiri yang luas cakupannya bahkan secara political will dapat memberikan kontribusi yang jelas terhadap perkembangan sastra dan budaya Banjar.

Gembrot atau singset bukan pilihan yang absolut. Kedua-duanya memiliki kebenaran yang dapat ditawar. Sastra Banjar memang harus menghadapi problematikanya sendiri dalam kemampuan berbahasa dan ini terjadi juga pada daerah-daerah lain. Bagaimanapun tak dapat kita pungkiri pengajaran sastra di Indonesia masih di bawah rata-rata apalagi sastra diajarkan mirip dengan disiplin ilmu lainnya, teori melulu, prakteknya kapan? Yang penting dihafal saja wong soal-soal ujian nasional juga meminta kita menjawab dari apa yang kita hafalkan. Toh tidak ada tuntutan institusi pendidikan untuk mencetak seorang sastrawan, jika pun ada itu terserah anda, kemauan si pendidiknya dan kemauan yang dididiknya. Itu baru soal sastra Indonesia belum lagi sastra daerah. Yang Indonesia saja minor, apalagi yang Banjar. Mencari jawaban untuk keluar dari masalah ini dibutuhkan banyak pihak untuk ikut mengambil kebijakan. Sastra Indonesia masih bertahan sebab ada institusi pendidikan yang masih mengajarkan, kelompok-kelompok sastra dan tentunya medium bahasa Indonesia dipandang lebih mudah sebagai alat komunikasi dibandingkan bahasa daerah. Karena pendidikan sastra dianggap bagian dari bahasa Indonesia maka pendidiknya bebas boleh siapa saja, tidak terbatas kepada orang Banjar. Namun ketika berhadapan dengan sastra Banjar, itu soalnya. Pengetahuan bahasa dan budaya Banjar si pendidik akan menghambat proses pengajaran sastra Banjar, lebih-lebih pengetahuannya dalam mempraktekan sastra. Karena tidak paham dengan apa yang dihadapi, satu-satunya jalan kembali pada teori dan menghafal. Itupun sudah cukup kok. Jangan serius, tidak ada yang menuntut anda menjadi sastrawan tapi itulah salah satu bagian kenapa sastra Banjar atau sastra pada umumnya tidak sanggup mengakar di Banjar. Mengikuti bahasa Indonesia saja masih blepotan apalagi Banjar yang memiliki subkultur masalahnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan sastrawan yang menggunakan bahasa Indonesia? Andainya benar mereka bicara Banjar dalam karya sastranya, bisa jadi kebudayaan Banjar juga akan mengakar dan bisa diketahui oleh banyak orang tidak hanya dari segi bahasa. Tapi upaya ke arah sana masih satu di antara seribu yang sudah mencobanya. Sering mereka menjadi murni sastrawan, mengangkat tema-tema universal yang di manapun bisa saja terjadi, Banjaris nonsense. Contoh lain perlu juga kita perhatikan karya sastra Banjar yang banyak ditulis oleh para sastrawan Banjar tentunya dengan bahasa Banjar. Kadang mereka juga bertema universal, nonsense kepada Banjar. Apakah bahasa bisa diterima begitu saja tanpa memperhatikan unsur-unsur lainnya dalam pembentukan karya sastra Banjar? Banjar itu adalah etnis daerah, sewajarnya kita memandang Banjar dalam proporsi kedaerahan. Jika ngomong soal Banjar, mari kita kemas persoalan dalan konteks kedaerahan. Bagaimana kedudukan sastra Banjar di daerah, bagaimana peran sastrawan Banjar di daerahnya sendiri, lalu kita bawa ke Indonesia, bagaimana sastrawan Banjar membawa daerahnya, bagaimana sastra Banjar menjadi pengobat rindu bagi orang-orang Banjar yang di sini atau memilih hidup di luar wilayah Kalimantan. Mari sama-sama kita pikirkan untuk memberikan identitas yang sudah terlambat waktunya. Oh iya, ini sudah di zaman apa?

MEMPERSOALKAN IKON SASTRA BANJAR

Oleh Jarkasi

Politik sastra identitas, sebutlah misalnya sastra Banjar adalah sastra yang berbahasa Banjar, memiliki konsekuensi logis makna yang tidak tunggal. Sebagai representasi identitas, sastra Banjar masih harus bertarung dengan sastra berbahasa Indonesia tetapi memiliki muatan yang amat kental dengan aspek kultur Banjar. Tentu dalam pengertian ini bahasa Banjar bukanlah identitas utamanya. Ini karena pemahaman bahwa ikon bahasa Banjar bukanlah identitas yang bisa menampung harapan-harapan besar sastra etnis ini.

Saya kira persoalan ini menjadi wajar-wajar saja, bukankah A. Teeuw juga sudah mengisyaratkan bahwa sastra selalu berada dalam ketegangan dan pembaharuan. Ini menyiratkan bahwa sastra Banjar dalam fase-fase pengertian dan karakter yang dibawanya selalu berdialektik. Apakah yang berdialektik itu substansinya atau secara intrinsik medium bahasa yang membawanya.

Dikotomi ini sering sangat rumit sifatnya, sebab secara tekstologis kita tidak bisa lagi berpegang pada satu di antara keduanya. Sastra Banjar misalnya hampir tidak mengenal di luar bentuk yang saat ini sudah dikenal seperti pantun, syair atau hikayat. Menyebut sastra Banjar ini lebih ditunjukkan ikon bahasanya, Banjar. Tapi dengan substansi itu sajakah sastra Banjar dicirikan, sehingga tidak terasa maju-maju. Mengorbitlah sebagian penulis genre-genre baru seperti kisdap (kisah handap), kisbung (kisah basambung) atau juga puisi bahasa Banjar, lalu mereka menamakannya sastra Banjar.

Proses penciptaan sastra dan efek daya cipta seorang sastrawannya mengkreasikan bentuk mediumnya dengan model-model modern dapat kita telusuri. Cara mereka mengembangkan bentuk serta memberikan batasan bahwa yang diciptakan itu adalah sastra Banjar barangkali perlu direnungkan lagi.

Saya memahami, baik secara tipologis maupun substansi model yang dibawanya tidak bisa dipisahkan dengan sastra modern. Ada dua alasan yang mengintainya; pertama secara struktur fiksionalitasnya sudah berubah, demikian pula untuk puisi, tidak pernah lagi tipografinya sama dengan bentuk pantun atau irama syair. Satu-satunya yang dipaksa menjadi ikon adalah bahasa, padahal ikon tersebut hanya prasangka-prasangka. Ikon bahasa tidak banyak membantu kita untuk bisa menampung perubahan sikap dan cara berpikir dalam menyuarakan hal-hal yang bersifat makro.

Pengertian sastra Banjar memiliki medium bahasa Banjar mengalami ketegangan yang harus segera dicairkan. Politik bahasa nasional telah menggariskan bahwa bahasa daerah sebagai bahasa pengantar kebudayaan daerah, dalam substansi ini termasuk sastra berbahasa Banjar. Meski dalam kenyataannya tidak bisa kita hindari bahwa tidak semua sastra yang berbahasa Indonesia—sesungguhnya juga—memiliki cara menyuarakan dan mengekspresikan dengah bagusnya dalam bahasa Indonesia, tapi kenyataan, politik bahasa itu sendiri masih harus kita pelihara. Karena itulah, sebagian dari sastra daerah tidak memiliki vitalitas untuk disebut sebagai sastra Indonesia.

Jika kita bertahan dengan ikon seperti itu, selamanya sastra daerah tidak bisa naik pangkat untuk mengungkap persoalan-persoalan krusial dalam dunia sastra daerah Sastra daerah selalu kita pandang tidak pantas duduk sejajar dengan sastra Indonesia. Eksotisitas-eksotisitas bahasa bisa jadi hanya memberikan kesan menyenangkan sebentar karena ia panoramic belaka. Di sinilah panoramisitas sejalan dengan sastra turistik. Sastra semacam ini hanya mentertawakan diri sendiri karena mengober kebloonan atau sengaja mengupas persoalan-persoalan yang sudah lama ditinggalkan orang, tetapi kita menganggap berisi sesuatu yang sangat khas, unik, menarik, dan sebagainya lagi untuk memberi arti lebih harat.

Pembelaan ide bahwa sastra Banjar bukanlah semata-mata dicirikan dengan Bahasa Banjar, saya kira cukup beralasan. Artinya, jika sastra daerah identik dengan bahasa daerah, persoalannya terlampau menyederhanakan kedudukan dan fungsi sastra daerah. Sastra daerah mestilah dapat diangkat ke dalam khazanah sastra Indonesia meski permasalahan yang dibawanya bersifat sangat lokal, tetapi fenomena budayanya sangat urgen. Secara makro kita bisa beranalogi sebagaimana kebudayaan nasional selalu dimaknai sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah.

Secara politis, jika satu budaya diberi kesempatan tampil secara nasional, maka sejak itulah dia dinobatkan sebagai bagian budaya nasional yang adiluhung. Kesempatan yang sama tentu juga diberikan untuk budaya mana saja di khazanah sastra daerah di nusantara.

Jika kita ingin mengutamakan bahasa Banjar sebagai ikon sastra Banjar, maka konsekuensinya adalah tidak ada medium bahasa lain yang mampu mengungkap persoalan-persoalan budaya Banjar tanpa bahasa Banjar. Sastra berbahasa Indonesia kenyataannya mampu mengangkat imaji-imaji ekstrinsik kultur Banjar, dia menjadi tidak lazim disebut sastra Banjar kalau kita mempertahankan pemahaman seperti itu. Inilah persoalan yang menyengat itu. Berarti ikonnya tidak hanya bahasa, ‘kan? Kenyataannya, sastra berbahasa Indonesia mampu mengungkap aspek-aspek kultur suatu daerah. Sering orang menamakannya, sastra seperti berwarna lokal, padahal istilah lokal tidak tepat untuk menyebut karakteristik budaya. Karena itu, amat tidak arif jika kita tidak bersedia menginteraksikan bahwa bahasa Indonesia sebetulnya juga memiliki peluang sebagai sarana pengungkapan kultur daerah include cerpen Banjar.

Kita juga menyadari tugas penyeragaman bahasa Indonesia untuk tidak sekadar diungkapkan dalam persoalan-persoalan kenegaraan dan kesatuan, sebetulnya juga telah berhasil menjadikan bahasa Indonesia sebagai sarana pengungkap pikiran dan perasaan dalam kebudayaan lokal. Ini sebuah kenyataan keberhasilan politik bahasa. Novel Upacara (Korrie Layun Rampan), meski ditulis dalam bahasa Indonesia, telah mampu mengungkapkan substansi kultur Dayak yang pas, akan sangat arif orang menyapanya karya sastra Dayak. Novel Palas—terlepas dari persoalan intertektualitas yang ditemukan—mampu bersinergi dengan pernik-pernik budaya lokal Bukit. Bisa saja amat tidak strategis dipahami dalam bahasa lokal.

Sulitnya meningkatkan vitalitas bahasa Banjar sebagai bahasa yang memiliki pikiran-pikiran maju, ketika dia harus memelihara cara-cara berpikir yang amat tradisional. Cerita-cerita berbahasa lokal cenderung memanjakan sikap-sikap tradisional yang seharusnya sudah ditumbangkan di abad sekarang. Lagi-lagi kelemahan vitalitas bahasa Banjar ini juga ingin tetap dipertahankan, sebab karya sastra berbahasa daerah itu dianggap paling mantap, paling tua, paling adiluhung, paling unik, dan paling tidak dipunyai oleh orang lain. Sebenarnya, argumen-argumen seperti itu masih ada untuk karya sastra yang sudah terlanjur lahir sejak dahulu, tetapi untuk karya-karya sastra daerah bentukan baru di abad sekarang seyogianyalah direkadaya agar memiliki vitalitas yang tidak kalah menarik.

Ninuk Kleden (2002) telah menyadari pemakaian identitas sebetulnya telah ada sebelum tanda dianggap sebagai representasi. Pernyataan ini boleh saya tafsirkan, sebelum ada bahasa Banjar sebetulnya identitas itu telah ada. Kehadiran bahasa daerah sebagai sarana pengungkap bisa dimaknai sebagai penampilan kembali identitas yang telah terbentuk. Selanjutnya, Ninuk juga menyatakan penampilan kembali sarana bahasa (sebagai sarana budaya) yang diperlakukan sebagai identitas boleh disebut selalu bersifat politis. Persoalannya adalah, setiap sesuatu yang dipandang secara politis, sebetulnya tidak akan mampu menempatkan persoalannya menjadi lebih kokoh. Pikiran ini bisa saya analogikan bahwa sastra Banjar pun akan mengalami perubahan proses kepada kenyataan yang tidak selalu bisa dibayangkan bahwa bahasa Banjar selalu membawa kebanjaran atau sebaliknya bahasa Indonesia tidak selalu dapat membawa misi keindonesiaan. Inilah yang saya katakan selalu bersifat politis.

Persoalannya tidak selesai hari ini, sebab akan terjadi pertarungan pengertian antara identitas dan tanda yang mewakilinya. Jadi saya setuju sekali, bukan caranya memperbanyak ilustrasi-ilustrasi untuk memberi penjelasan tentang sastra berbahasa daerah, tetapi kita harus memahami bahwa makna sastra selalu berada dalam ketegangan dan pembaharuan. Bagaimana pun kita harus selalu meningkatkan peran bahasa daerah menjadi medium sastra daerah yang tidak berpikiran lokal. Seyogianyalah sastra daerah itu memiliki pikiran global atau sebaliknya juga disindir sebaiknyalah sastra berbahasa Indonesia mampu membawa subtansi budaya daerah secara komprehensif. Ini akan menjadikan konteks pengucapan sastra kita sudah mampu lebih terbuka dan sangat memahami politik identitasnya, tidak dalam koridor kepantasan.

Saya berpendapat tidak hanya politik kesusastraan Indonesia yang perlu kita rombak, tetapi juga politik bahasa nasional yang terlampau menciptakan minor dalam blantika sastra Indonesia harus dihapuskan. Momentum ini harus berani kita gerakkan sebagai suatu cara untuk mendudukkan persoalan secara lebih manusiawi. Akibat kebijakan yang minor ini, terlampau banyak nama-nama beken sastrawan di daerah yang menulis karya sastranya dengan bahasa daerah tidak diakui sebagai sastrawan Indonesia. Lebih-lebih kalau kita sendiri memahami secara tradisional bahwa sastra berbahasa daerah itu adalah sastra daerah. Dikotomi semacam ini tentu tidak strategis lagi. Akibat dikotomi itu bisa terjadi baru satu dua biji memuat sastra berbahasa Indonesia—secara kebetulan hari ketika puisi itu dimuat di media massa—tim penulis sastra Indonesia melakukan pencatatan, maka dialah yang menjadi tokoh sastrawan Indonesia. Ini efek dari pandangan yang keliru dalam memahami ikon sastra kita sementara ini.

Secara politis kita harus mengubah karakteristik sastra Banjar, tidak saja dikenali karena bahasanya tetapi juga ikon budayanya. Jadi bisa terjadi sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris disebut sastra Banjar karena persoalan yang dibawanya kental sekali dengan budaya lokal.

HABIS SURAH

Oleh Burhanuddin Soebely

Sainul Hermawan, dalam Keasingan dan Keintiman dalam Rumah Sastra Banjar, mengutip sajak Jangan Bercinta dengan Penyair karya Faiizi L. Kaelan. Kutipan itu kuanggap sebagai pilihan Sainul untuk memosisikan diri di kancah sastra Kalimantan Selatan ini. Sungguh, aku merasa bersyukur jika Sainul Hermawan mau memosisikan dirinya sebagai musuh para pesastra, sebab agaknya musuh itulah yang diam-diam tengah dicari oleh (sebagian) pesastra di banua ini. Setidaknya, dalam pembicaraan informal beberapa kawan saat Aruh Sastra Kalimantan Selatan di Tanah Bumbu, terbetik semacam konvensi untuk meletakkan persahabatan atas nama permusuhan sehingga diharapkan seseorang akan amat berhati-hati untuk mengumbar pemikiran atau menerbitkan karyanya di berbagai forum dan media. Kendati konvensi tersebut masih diembel-embeli dengan selektivitas personal—dalam arti kedewasaan dan kematangan seseorang dalam berbeda pendapat dan menerima sejumlah kritik—namun telah mencerminkan perlunya sebuah dialektika, semacam tembok di depan yang dapat memantulkan kembali tendangan bola. Selektivitas dianggap perlu karena salah-salah permusuhan pemikiran dapat berubah menjadi permusuhan pribadi nang hujungnya maulah kada barawaan atau pecahnya sebuah komunitas.

Jika tulisan ini hadir sebagai bagian dari permusuhan (semoga ini tulisan terakhir) maka itu cumalah dipicu oleh beberapa penggal kalimat yang muncul pada tulisan Sainul terkini dan terutama tulisan Jarkasi, Sastra Banjar Itu Elastis. Disadari benar bahwa barangkali tak ada hal baru. Ini sekadar ungkapan kemengertian terhadap pandangan yang lain sekaligus penegasan sikap dari pandangan di seberangnya.

Ihwal Dekonsentrasi Sastra

Konsep dekonsentrasi sastra lebih dimaknai dalam kerangka pemakaian bahasa Indonesia, semacam peluruhan “pusat sastra” dan “pemberdayaan” pesastra di daerah yang tidak menulis atau kurang tertampung di media nasional. Dalam bahasa Maman S. Mahayana, konsep sastra nasional tersebut pada ujungnya akan dimaknai sebagai konsep politik, tidak lagi sebagai konsep kultural. Kelak ketika orang berbicara tentang sastra nasional dalam pengertian kultural maka orang harus mengaitkannya dengan persoalan-persoalan lokalitas, menghubungkannya dengan karya sastra yang muncul dan bertebaran di berbagai daerah di Indonesia--yang (tentu saja) media ekspresinya menggunakan bahasa Indonesia.

Lalu di mana andaknya sastra daerah? Keberadaan sastra daerah akan amat bergantung pada perhatian masyarakat daerah yang bersangkutan. Dan karena ihwal sastra daerah bukanlah ihwal “yang menyangkut hajat hidup orang banyak”, “solusi pengentasan kemiskinan”, “peningkatan pendapatan asli daerah”, atau jargon lain semacamnya, maka sebuah sastra daerah—sebutlah itu sastra Banjar—berkemungkinan untuk hilang.

Barangkali di sinilah titik berangkatnya pemikiran Sainul yang kemudian dimakmumi Jarkasi. Sainul nampak lebih konservatif dalam mengantisipasinya, buru-buru menggembrotkan definisi sastra Banjar sebagai upaya untuk tetap mengakomodasi sastra berbahasa Banjar. Kita agaknya layak mengucapkan terima kasih atas atensi “orang asing” ini. Sementara Jarkasi, sebagai “orang dalam” buru-buru pula memakmuminya, bahkan terkesan “subversif” dengan mengatakan bahwa sastra Banjar tidak akan hilang tanpa sastra berbahasa Banjar—dengan kata lain: pangai ha mati bini tuha, ada haja bini anum nang mampilak kaya gadang dikuyak.

Aku menyadari benar dampak dekonsentrasi sastra itu, kemungkinan hilangnya sastra (berbahasa) Banjar itu. Jangankan sastra berbahasa Banjar, bukankah sejak Sumpah Pemuda sudah terbuka kemungkinan bagi hilangnya bahasa daerah karena masyarakat Indonesia menjadi monolingual, berbahasa Indonesia? Itu sebabnya pada tulisan terdahulu kusodorkan pemikiran untuk memanfaatkan arus dekonsentrasi sastra sebagai upaya meraih kesetaraan antara sastra Banjar dengan sastra Indonesia. Kesetaraan berarti yang satu tidak menafikan yang lain, perhatian terhadap yang satu tidak mengecilkan perhatian terhadap yang lain.

Sainul agaknya beranggapan bahwa dengan menggembrotkan definisi maka sastra berbahasa Banjar akan serta-merta ikut terangkat. Aku ingin mengingatkan Sainul pada sebuah kasus yang berlangsung di depan matanya. Ketika berlangsung peluncuran buku kumpulan kisdapnya Jamal, Galuh, seorang anak SMA dengan polos berucap bahwa ia kurang dapat mengapresiasi kisdap-kisdap itu karena bahasa Banjar yang dipakai banyak yang tidak dimengerti. Dia kemudian memberikan solusi agar kisdap-kisdap tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tidakkah ini bisa dijadikan deteksi dini bahwa kesertamertaan itu berkemungkinan besar menjadi nonsens?

Dari contoh kasus itu, pokok soalnya bukan berada pada keengganan mengapresiasi, melainkan pada bahasa. Logikanya, jika sastra Banjar diperkenalkan sejak dini dan intensif, atau lewat langkah programatis lainnya, maka jembatan apresiasi akan terbangun dengan baik. Baiknya bangunan jembatan apresiasi akan menjadikan sastra Banjar berumur panjang. Jadi, belum perlulah buru-buru melakukan perancuan definisi yang riskan itu, sebagaimana belum perlu mancancang Umberto Eco hanya untuk mengatakan diri sebagai manusia berpendidikan yang berpikiran modern dan mampu menangkap semangat zaman. (Ai, cakada kaya itu pang maksudku. Iya kalu, Mal?) Ayu sambat intan di luang pandulangan mun handak dipukuli urang sakampungan.

Ihwal Rumah Sastra Banjar

Ketika republik ini didirikan, sejumlah masyarakat yang maujud ke dalamnya adalah masyarakat yang berbekal sejumlah nilai budaya. Founding fathers menyadari benar hal itu sehingga melakukan beragam kompromi yang implementasinya akan dipikirkan kemudian. Perkembangan lanjut dari proses mengindonesia itu ternyata tak dapat menghindar dari hegemoni, termasuk soal budaya. Dalam pandangan hegemonik, sastra Indonesia ditempatkan sebagai wacana dominan, dan sastra daerah, sebutlah itu sastra Banjar, sebagai subordinat yang harus diintegrasikan ke dalam wacana dominan tersebut. Lebih jauh lagi, interaksi antara wacana dominan dengan wacana subordinat sebenarnya cumalah interaksi imajiner, sesuatu yang dibayangkan sebagai hal ideal, karena pada kenyataannya sastra Indonesia bukanlah puncak-puncak dari sastra daerah.

Maka rumah sastra Banjar pun berada pada semacam splendid isolation, isolasi sempurna, yang tidak mengganggu, dan diperlakukan sebagai “bagian yang diperlukan” bagi penampakan sebuah Indonesia yang raya. Jadi keterjepitan rumah itu bukanlah sepenuhnya karena kurangnya perhatian penghuni rumah. Kukatakan bukan sepenuhnya karena seperti di tulisanku dulu bahanu ti sapalihan salah buhan saurang jua. Ungkapan salah buhan saurang jua ini didahului oleh kata bahanu lantaran kesalahan itu kadang justru terbit dari kebenaran. Kebenaran, sebab rumah sastra adalah rumah yang unik. Unik, karena pesastra pada dasarnya adalah insan soliter yang dalam berkarya tidak memerlukan orang lain. Dengan demikian, di rumah sastra itu berkumpul sekian orang dengan tujuan yang sama namun belum tentu mempunyai tujuan bersama. Tujuan yang sama untuk berkarya. Tujuan bersama untuk membenahi rumah, lahan dan habitat. Bukankah sepanjang ada media yang menampung maka seorang pesastra sudah merasa berada di firdaus? Jika tak ada juga media yang menampung, bukankah masih bisa memublisirnya sendiri, entah lewat antologi bersama atau antologi sorangan wae? Bukankah dulu saat berlangsung kevakuman media penampung, sastra Banjar tetap ditulis, disurung jadi materi lomba baca “dalam rangka….”, atau diedarkan dari tangan ke tangan, dari satu komunitas ke komunitas?

Barangkali keunikan semacam itu bukan kondisi ideal dari sebuah rumah yang dibayangkan Sainul. Barangkali pula memang diperlukan para pengelola dan perawat rumah, para “pemangku adat” semacam Almarhum D. Zauhidhie, Hijaz Yamani dan Yustan Aziddin, orang-orang yang mampu maimpu penghuni rumah menyaripatikan tujuan yang sama sekaligus tujuan bersama.

Tulisan Jamal, Setia Budi, dan tulisanku tentang keadaan rumah seyogianya dimaknai sebagai ajakan ke arah penyaripatian tersebut, bukan dimaknai sebagai keterasingan (salah-tiga-orang) tuan rumah terhadap rumahnya sendiri atau dijadikan kilah ukuran agnostiknya sastra Banjar. Tapi—seperti kata Sainul—tak apalah karena inilah satu lagi bukti dampak keterbatasan bahasa yang digunakan dan keterbatasan resepsi penerimanya.

Ihwal Habis Surah

Di tulisannya, Sainul juga mengutip puisiku, Lamunan. Karena puisi dapat multitafsir maka boleh saja Sainul menafsir menurut versinya, sebagaimana boleh saja pula seorang kawan di Kandangan dulu menafsirkannya begini: lamun hujungnya pagun-pagun jua ka Tuhan, kada sarana bahujah hampai tabulangkir kitab-mangikab. Nangapa haja mun hudah hampai ka Allah Taala musti habis surah.

Ihwal habis surah itu sangkut lagi di pikiranku setelah membaca jawaban Sainul terhadap contoh kasus Menolak Panggilan Pulang Ngarto Februana dan Keluarga Trans NH. Dini. Keduanya (dan bukan sejumlah novelet Lan Fang yang berlatar budaya Banjar) sengaja kupilih karena berpotensi bermasalah jika dipandang dengan definisi Sainul. Jawabannya adalah: kita lihat dulu bagaimana masyarakat sastra Banjar memposisikan kedua karya tersebut; jika masyarakat Banjar mengiyakan, maka jadilah keduanya sebagai sastra Banjar. Dalam kalimatku: hal itu tergantung pada masyarakat Banjar.

Jika demikian jawabnya maka Fatchul Mu’in tak perlu repot menganalisis (sebagaimana lazimnya insan akademis) Burung-Burung Manyar-nya Romo Mangun termasuk sastra mana. Novel itu bisa jadi sastra Indonesia, tergantung pada….bisa jadi sastra Belanda, tergantung pada….bisa jadi sastra Inggris, tergantung pada….bisa juga jadi sastra Indonesia, sastra Belanda sekaligus sastra Inggris, jika masyarakat ketiga negara itu menerimanya; dan bisa pula jadi sastra Antah Berantah jika masyarakat ketiga negara tak berkenan menerimanya. Lagi pula, Bung Mu’in, sebutan sastra Indonesia, sastra Inggris, sastra Belanda, itu sesungguhnya salah, harus ada spesifikasi wilayahnya. Sastra Jawa, misalnya, karena BBM bermuatan Jawa dan diterima masyarakat Jawa. Bukankah ditulis dengan bahasa apa saja asal bermuatan Banjar disebut sastra Banjar, bukan sastra Indonesia? Begitu saja kok repot!

Yang repot, andai latar tempat berikut kode budayanya tidak jelas atau bahkan fiktif. Mastodon dan Burung Kondor atau Kisah Perjuangan Suku Naga dari Rendra, misalnya? Novel-novel Iwan Simatupang? Cerpen-cerpen surealis Danarto atau Seno Gumira? Ah, nantilah itu kupikirkan sambil bacacarian Umberto Eco, kaluai ada di rumah Maman S. Tawie, Tarman Effendy Tarsyad atawa Rifani Djamhari; di rumah cuma ada Eco yang dipenggal orang semena-mena. Yang penting aku sudah tahu bagaimana elastisnya definisi gembrot itu.

Ada pun ihwal habis surah adalah jawaban “tergantung pada…” itu tadi. Jawaban itu kada kawa dihual lagi. Bagaimana sikap Anda jika Menolak Panggilan Pulang dan Keluarga Trans kita klaim sebagai sastra Banjar? A. menerima. B. menolak. C. tidak tahu. Kirim SMS ke nomor….

Selamat Idul Fitri

Tabusalah sarai sarapun

Unjun di batang umpat batali

Lamun tasalah maminta ampun

Habis surah hampai di sini.

Kandangan, minggu akhir Oktober 2005

CATATAN KRITIS MASA DEPAN SASTRA BANJAR

Oleh Prof. Dr. H. Djantera Kawi

Guru Besar Linguistik FKIP UNLAM

Memotret perkembangan sastra Banjar dalam khazanah sastra Kalimantan Selatan mutakhir boleh jadi berarti upaya mencari format baru—semacam kebingungan—karena sastra Banjar laras masa lalunya ternyata, menurut sebagian orang, mandul, hanya memberi nuansa estika bahasa tetapi kurang menjembatani pikiran-pikiran baru yang biasanya tertumpahkan dalam karya tulis. Ini mengantar konsekuensi bahwa sastra Banjar jika ditulis dalam wujud demikian, kurang mampu memberi opini, padahal pikiran-pikiran sastra berkembang dan liar. Sebagian orang lagi ingin tetap diakui, bahwa satu-satunya ciri sastra Banjar yang dapat dipertahankan adalah pemakaian bahasa Banjar. Kedua-duanya memang beralasan untuk hadir sebagai karya sastra, tetapi medan perjuangan dua konteks permasalahannya sama-sama sukar untuk disikapi. Kita harus mengakui tidak semua generasi muda Banjar memahami bahasa Banjar, maka sastra Banjar seyogianya dapat ditulis dalam bahasa Indonesia. Alasan yang menonjol berkenaan dengan pernyataan itu adalah selama ini sastra Banjar sangat terbatas ditulis oleh sastrawan Banjar dalam bahasa Banjar. Kedua, sastra Banjar tidak bisa lepas dari media aktualisasinya, yakni terbitan berbahasa Banjar. Sebaliknya, argumen kedua menyatakan sastra Banjar bisa ditulis dalam bahasa Indonesia asal tetap memperhitungkan kode budaya Banjar dalam sastra. Pernyataan ini lebih menginginkan sastra Banjar berbahasa Indonesia dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca yang bukan orang Banjar. Lagi pula, bisa saja sastra Banjar ditulis oleh bukan orang Banjar—karena seseorang sudah memahami betul kode budaya orang Banjar.

Dua pemikiran ini saya anggap menarik untuk dicermati. Setidaknya ada dua alasan yang dapat diketengahkan. Pertama, fase perkembangan sastra Banjar memasuki babak baru. Mereka yang terlibat dalam polemik sastra Banjar sebenarnya masing-masing berkeinginan agar sastra Banjar menjadi perhatian siapa saja yang berminat dengan sastra ini. Kedua, bisa jadi polemik ini justru sebaliknya menjadi bahan ejekan untuk sastrawan-sastrawan Banjar sendiri, karena sastra Banjar yang seharusnya ditulis dalam bahasa Banjar, tidak diminati lagi oleh sastrawan Banjar sendiri. Mereka lebih tertarik menulis sastra bahasa Indonesia. Bisa jadi ini karena menulis sastra berbahasa Indonesia lebih mudah untuk mendapatkan duit dibanding sastra berbahasa Banjar. Alasan yang kedua ini cukup beralasan karena selama ini wilayah kebudayaan Banjar, termasuk sastra Banjar, hanya sebagai pelengkap dalam khazanah kebudayaan Banjar. Tidak adanya sastra Banjar juga tidak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan kita sehari-hari. Jika dugaan ini benar, maka “kita” sudah sampai pada sikap sangat memperihatinkan terhadap budaya Banjar. Alangkah lemahnya kedudukan dan fungsi sastra Banjar. Nasib budaya Banjar tentu sangat terpuruk. Wajarlah jika ada seniman berpikir lebih baik menulis dalam bahasa Indonesia—lebih dapat dikenal penulisnya—daripada menulis dalam bahasa Banjar. Sudah tidak dapat apa-apa jika menulis dalam bahasa Banjar, juga tidak ada perhatian penguasa yang berkompeten memperhatikan persoalan itu, termasuk tidak ada upaya menyikapi ketiadaan media berbahasa Banjar.

Kedua laras pengucapan sastra, baik yang berbahasa Banjar maupun berbahasa Indonesia sebenarnya memiliki eksotika masing-masing. Gambaran sastra paling tidak, orang dapat menangkap gambaran kondisi masyarakat zamannya sebagai mana pernah diungkapkan oleh Sutan Takdir Ali Syahbana di paruh pertengahan 50-an. Ada dinamika yang berkembang antara kekuatan nasional dengan kekuatan lokal. Dinamika itu perlu dicari dalam trend situasi masyarakat dunia yang mengglobal. Di sisi yang sama tatanan global itu sendiri memporak porandakan kekuatan lokal secara tidak terelakkan. Identitas manusia akan semakin sirna, termasuk wilayah-wilayah kebudayaan akan tercerabut dari tanah pijaknya. Artinya manusia akan semakin tidak berciri dan tidak punya pegangan.

Tidak berciri intelektual pula jika orang memposisikan sastra bahasa Banjar berbahasa Indonesia sebagai musuh, sebab bahasa Banjar atau bahasa Indonesia hanya sebagai instrumen pengungkapan dari sikap formal sastrawi. Yang lebih penting dari semua itu adalah menulis dan menulis. Kedua pikiran yang berseberangan tidak perlu saling memagari diri untuk tidak saling menjenguk wilayah-wilayah yang lebih urgen di antara keduanya.

Sistem kepengarangan sastra Banjar, sadar atau tidak, adalah sesuatu yang belum terbentuk. File kita tidak mencatat hal-hal yang berkaitan dengan sistem penulisan, sistem pembaca, sistem kritik, sistem apresiasi, sistem publikasi. Ini yang mengakibatkan semakin hari sastra Banjar semakin terdesak oleh deraan kebudayaan modern. Sastra Indonesia sendiri bukan musuh utamanya, sastra Indonesia cenderung memompa udara sendiri agar bisa bernafas hidup. Yang menjadi pengaruh besarnya adalah budaya global yang semakin mendesak.

Mari kita geledah akar dari kebinggungan kalangan penulis sastra Banjar dengan melacaknya dari dua pendekatan utama yang berkembang yaitu budaya lisan dan tradisi lisan. Sadar atau tidak, Banjar terlalu lama dipengaruhi oleh budaya lisan. Budaya lisan telah melahirkan tradisi-tradisi lisan lain yang berurat berakar tidak saja bagi keperluan tradisi tulis tetapi juga lambannya kebangkitan tradisi ilmu pengetahuan. Tradisi penalaran tidak akan berkembang baik selama tradisi lisan tidak berpindah kepada tradisi tulis. Kita hendaknya dapat memposisikan kelisanan secara proporsional. Sastra yang dilisankan memang aktualisasinya dengan cara lisan, sebutlah misalnya lamut dan madihin tapi sastra yang tradisi pengembangannya secara tertulis tidak semestinya dilakukan secara lisan, sebutlah di antara itu adalah puisi, prosa, syair, dan karya-karya drama.

Selasa, 19 Agustus 2008

SASTRA BANJAR ITU HARUS TERUS ADA

Syarifuddin R

Penelusuran dan pencarian identitas sastra Banjar yang telah digaungkan sungguh menarik untuk dicermati. Dari ragam penyiasatan yang diutarakan para penulis yang terlibat di dalamnya memberikan peluang untuk dibahas dan dikritisi kembali. Walaupun sesunggguhnya berbeda pendapat bukanlah tradisi yang kuat berakar dalam kehidupan keseharian masyarakat kita. Sebab sudah menjadi kebiasaan yang terpola bahwa apa yang dikatakan orang tua, sesepuh atau senior harus diterjemahkan sebagai pendapat yang terbaik. Setiap nafas dan suara yang membalut pendapat sesepuh atau yang dituakan dalam tradisi itu senantiasa memiliki cap kebenaran yang tak terbantahkan.

Kenyataan yang masih berlaku dalam masyarakat tersebut telah menutup ruang untuk mendebat, karena berbeda pendapat berarti identik dengan membantah dan percekcokan. Sementara tuntutan kekinian untuk mendapatkan kebenaran dalam pengetahuan justru harus membuka ruang perbedaan pendapat. Peran orang tua, sesepuh atau senior itu dalam bidang keilmuan kurang lebih sama dengan pakar atau ahli tertentu sesuai disiplin ilmunya. Bedanya dalam hal polemik para pakar umumnya memandangnya sebagai sesuatu yang biasa dan bahkan harus selalu dibangun agar tercipta ruang berpikir yang sehat dan variatif. Para pakar meyakini polemik selain mampu membuka cakrawala berpikir juga menjadikan kepakaran mereka semakin terkenal. Sedangkan orang tua atau sesepuh selalu menempatkan pendapatnya adalah yang terbaik dan harus bisa diterima, karena jika ada yang mempermasalahkannya berarti telah menurunkan wibawanya.

Dalam tradisi perdebatan seakan hanya boleh terjadi untuk mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang setara. Pada tataran sederajat tersebut mereka dianggap memiliki otoritas berpendapat yang sama. Sehingga kekuatan dalam menentukan kebenaran atau yang paling berterima sangat tergantung pada argumentasi yang dikemukakan. Namun sering pula terjadi polemik terputus (tidak tuntas) manakala muncul kekuatan tradisi yang telah menganggap diri sendiri lebih mengetahui atau lebih berpengalaman. Kemungkinan lain kalaupun polemik dilayani, kesan dan isinya hanya untuk melecehkan. Kekuatan tradisi yang mengagungkan diri sendiri seperti lebih mengetahui dan lebih berpengalaman telah menghambat jalan bertukar pikir. Dengan keagungan diri sendiri itu, maka mudah melahirkan ungkapan baru seumur jagung, masih bau kencur atau hanyar pacah dihintalu yang tidak lain dimaksudkan untuk meremehkan pendapat pihak lain. Namun sebaliknya tradisi juga mengajarkan kepada seseorang untuk bersikap rendah hati. Tapi sikap rendah hati sering pula diusung secara berlebihan, sehingga kesannya tetap keangkuhan diri.

Pengemasan argumentasi yang dicuatkan dalam aneka ragam tulisan kreatif menjadikan polemik sastra Banjar memiliki kekuatan bertahan. Dengan keunikan ragam pendapat yang dimunculkan dapat melenyapkan kebuntuan dan tidak meyebabkan pencarian identitas terhalang. Bahkan dari polemik sastra Banjar yang berkembang telah menunjukkan kemampuan melintasi tradisi, sehingga dapat menerima dan memahami perbedaan pendapat. Cara berpikir dan bersikap berbeda dengan tradisi juga merupakan buah perkembangan kesusastraan itu sendiri.

Berdasarkan pencermatan pada kesusasteraan di Indonesia yang memperlihatkan berbagai ragam bahasa dan kebudayaan yang ada di dalamnya, seperti tercermin pada sebagian besar karya yang dihasilkan. Pengertian kesusasteraan di sini, tentu tidaklah mungkin mengabaikan keberadaan sastra lisannya. Dengan memahami dan memaknai keberadaan sastra lisan yang hidup dan berkembang, mendekatkan kita kepada titik pencarian yang dikehendaki. Karena baik dilihat secara sempit dari sudut sastra maupun yang lebih luas kebudayaan, sastra lisan merupakan cikal bakal dari perkembangan sastra tertulis. Kemudian dilihat dari sudut kebudayaan, sastra lisan berawal pada pengucapan yang langsung dari jiwa rakyat yang merupakan bagian lapisan bawah masyarakat. Sehingga penyebutan identitas di belakang kata sastra lisan senantiasa terkait dengan manusia atau orang yang memiliki kebudayaan.

Dengan mengacu pada keberadaan sastra lisan (Banjar) yang lebih dulu ada, mestinya penyebutan sastra Banjar tidak perlu menanggung beban yang berat dan rumit. Dari beberapa argumentasi yang dikemukakan dalam polemik sebenarnya telah menjawab keraguan tentang keberadaan dan identitas sastra Banjar. Sumber tertulis yang berasal dari sastra lama dan sastra lisan Banjar, telah pula dimiliki dan terekam dalam beberapa buku. Jika kita kaji sastra lisan Banjar yang dimuat dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia (Bunga Rampai Sastra-Sastra Asean, Sastra Lisan Indonesia) yang diterbitkan The ASEAN Committee on Culture and Information, (1983) tentu tidak terlepas dari orang dan kebudayaannya. Sastra lisan yang dimuat dalam buku tersebut bukan hanya pantun, tetapi juga ceritera rakyat yang dikembangkan berdasarkan bahasa tertulis dengan menggunakan bahasa daerah (Banjar) dan Indonesia.

Karya Anggaraini Antemas (Yusni Antemas) yang berjudul Kehancuran di Baruh Kelayar yang mengangkat latar belakang budaya daerah dan telah diterbitkan Balai Pustaka melalui Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah (1980), memang tergolong sastra lama karena diangkat dari folklore. Tetapi gaya bahasa dan ungkapan yang digunakan untuk menuliskan tujuh pragmen/episode telah ditulis seperti ceritera bersambung atau novelet yang menarik untuk dibaca. Seandainya pembaca buku Kehancuran di Baruh Kelayar tidak diberi penjelasan tentang isi buku tersebut berasal dari ceritera rakyat dan tergolong sastra lama, mungkin saja disebut karya sastra Banjar modern.

Penyiasatan kita untuk mengetahui, memahami atau mempercayai sesuatu bisa dilakukan dengan bercermin pada pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh. Penelusuran pada teks kajian yang sering dijadikan acuan, mengharuskan seseorang menimbang-nimbang fakta ilmu berdasarkan bahan rujukan yang pernah ada. Tetapi ukuran keberadaan sastra Banjar tidak hanya dilihat dari berapa banyak yang telah ditulis dan siapa saja penulisnya. Sebab walaupun ada naskah-naskah sastra Banjar modern yang ditulis, namun pertanyaannya siapa atau instansi mana pula yang berkenan menerbitkannya

Menyikapi persoalan bagaimana sesungguhnya sastra Banjar itu, kita dapat beranalogi dengan pendapat Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo tentang sastra Indonesia. Menurutnya sastra Indonesia itu, tidak hanya berbahasa Indonesia saja. Sastra Indonesia itu juga ada yang berbahasa Jawa, berbahasa Sunda, Berbahasa Inggeris, Berbahasa Belanda. Segi terpentingnya adalah penulisnya orang Indonesia, juga pakai idiom-idiom Indonesia, dan berlatar budaya Indonesia (berita buku no.62 tahun VIII Agustus l996). Jadi, kalau kita menggunakan analogi pendapat Suripan Sadi Hutomo tersebut, maka yang disebut sastra Banjar itu tidak hanya berbahasa Banjar saja. Sastra Banjar itu juga ada yang berbahasa Dayak, berbahasa Jawa, berbahasa Sunda, berbahasa Indonesia, berbahasa Inggeris atau berbahasa Belanda. Sudut pandang utamanya adalah penulisnya orang Banjar, pakai idiom-idiom Banjar dan berlatar budaya Banjar.

Jika Suripan Sadi Hutomo mengatakan bahasa bukan ciri utama dalam menentukan identitas sastra dapat kita pahami. Karena bahasa lebih berfungsi sebagai media penyampai pesan, bukan pesan itu sendiri. Mungkin pula kita bisa mencari alasan yang lain dengan beranalogi pada materi lain, misalnya tentang apa yang disebut sejarah Banjar. Meskipun bahasa yang digunakan untuk menulis sejarah Banjar adalah bahasa Belanda, tetaplah tidak mengurangi arti sejarah Banjar tersebut. Seyogianya kalau sastra Banjar tidak ditulis dengan bahasa Banjar, namun idiom-idiom Banjar dan latar budaya Banjar merasuk dalam karya yang dihasilkan, apalagi ditambah penulisnya orang Banjar tetap dapat disebut sastra Banjar.

Perkara mengapa karya-karya yang menggunakan idiom-idiom daerah/negara oleh pengarang Indonesia tidak serta merta disebut sastra daerah/negara tertentu, pasalnya sangat terkait dengan tujuan penulisannya. Namun dalam konteks polemik yang terjadi sebenarnya kita lebih memerlukan orang-orang yang memiliki jiwa penyelamat untuk kesinambungan sastra Banjar agar terus ada dan terjaga. Perhatian dan kepedulian pada sastra Banjar harus terus diupayakan, jangan sampai kita tetap berada dalam alam tradisi lisan, karena tidak ada yang mau dan mampu menuliskannya.

Terlepas dari persoalan mana yang paling tepat dan benar, sesungguhnya pedebatan sastra Banjar telah membuka cakrawala berpikir lebih luas. Layar boleh saja ditutup, karena untuk episode ini telah habis. Polemik boleh berlalu, namun semua argumentasi telah terhimpun dalam buku. Tapi besok atau kapanpun kita buka lagi polemik baru dengan semangat menggebu.

SASTRA BANJAR, NGALIH BANAR


Oleh Sainul Hermawan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik kalau kita membaca esai Jamal T. Suryanata, “Senyum Nurdin dan Sastra Banjar”. Sebuah esai bergaya cung parahu, siapa kana kada tahu. Konon gaya retorika semacam ini bermakna serius sekaligus main-main. Serius karena isu itu dilemparkan kepada sesuatu yang berpotensi membentur segala sesuatu di sekitarnya. Main-main karena ada semacam ignorance, ketakacuhan, dan tak mau menanggung akibatnya jika yang terkena lemparan itu “sakit”. Dengan kata lain, esai ini sudah sejak awal pasang kuda-kuda kultural yang mapan dengan secara tidak langsung ingin mengatakan: jangan sarik, ini hanya main-main. Atau, konon, dengan cara demikian, penulisnya menyadari adanya sesuatu yang mungkin keliru, karenanya sejak awal dia perlu mengakhiri tulisannya dengan cung..., dalam pengertian, “maaflah kalau aku salah.”

Pertama, dia risau, resah, dan gelisah melihat proses alienasi yang sedang berlangsung di kalangan generasi muda Banjar terhadap realitas budaya dan kearifan lokal mereka. Alienasi itu antara lain, menurut Jamal, diakibatkan oleh gempuran dahsyat budaya Barat dengan beragam variannya yang menggoda hasrat gaya hidup baru (new life style). Di samping itu budaya selebritis Jakarta (budaya nasional?) yang menyusup samar-samar masuk ke rumah-rumah orang Banjar melalui kotak ajaib yang bernama TV juga, oleh penulis sakindit kisdap Banjar ini, dianggap sebagai faktor lain yang ikut mengikis identitas “kebanjaran” orang Banjar (lihat paragraf ke-2 dan ke-3).

Mencurigai atau menyalahkan orang/budaya lain (Barat, Jakarta) semacam ini adalah sikap klise yang sering didengungkan dengan menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya rumit. Ada nuansa sikap pembenaran diri sendiri, penyederhanaan Barat atau Jakarta secara negatif, dan lupa bahwa potensi sikap kultural yang buruk sebenarnya juga berakar di sini. Kompleksitas bagaimana beragam pikiran orang Banjar menyerap, menerjemahkan, budaya luar agak kurang dihiraukan. Bukankah apa yang ada di segala sektor kehidupan orang Banjar dulu, kini, dan esok tidak sepenuhnya berasal dari Banjar? Tidak wajarkah ini sebagai proses silang budaya? Banjar belajar Barat dan Barat belajar Banjar.

Kedua, salah satu pihak yang pantas dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan budaya, terutama dalam hal cagar alam sastranya adalah lembaga pendidikan yang telah mengikrarkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memberikan perhatian terhadap keberadaan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah. Sayangnya, menurut narator imajiner dalam esai Jamal (yang bisa saja dibaca sebagai representasi suara penulis esai itu sendiri), kajian sastra Banjar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PS PBSID) yang ada di Banjar kurang mendalam dan terkesan sebagai disiplin tempelan belaka. Secara paradigmatik, kritik ini sangat jelas diarahkan oleh penulisnya ke almamaternya, di mana si penulis secara intens pernah mengkaji sastra Banjar dan menghasilkan tesis yang relatif monumental, berjudul Cerpen Banjar 1980-2000, Tinjauan Struktur, Isi dan Konteks Sosialnya. Menurut narator dalam esai Jamal, skripsi sastra si perpustakaan PS-nya, masih didominasi oleh kajian sastra Indonesia. Jamal (atau naratornya?) meninggalkan pertanyaan bagi kita: ketika sastra Banjar tak diminati mahasiswa, apa atau siapa yang salah, sastra Banjar, mahasiswa, dosennya atau pertanyaan yang semacam ini? (lihat paragraf ke-5).

Tidak ada yang patut disalahkan. Perkembangan minat dan perhatian terhadap sastra Banjar akan turut ditentukan waktu. Lagi pula posisi sastra daerah dalam PS PBSID tidak bermakna lokal tetapi sangat nasional. Artinya, mahasiswa dari daerah-daerah lain di Indonesia dapat mempelajari sastra Banjar, sastra daerahnya sendiri, ataupun sastra daerah lain di Indonesia.

Ketiga, ada kritik pedas bagi karya sastra yang ditulis oleh mahasiswa di Banjar. Mungkin dia merespons beberapa cerpen KCPM 2005 yang sempat hadir di Cakrawala setiap Minggu. Mungkin juga tidak. Menurutnya, cerpen karya mahasiswa itu jelek dan menggelikan. Tetapi dia harus tetap bersikap apresiatif agar generasi penerus tradisi sastra Banjar tak berkecil hati dan berhenti berkreasi (lihat paragraf ke-7). Tetapi, dalam logika tulisan cung parahu, kritik seacam itu tidak semata ditujukan kepada karya mahasiswa yang jelek, tetapi juga dilemparkan kepada karya sastrawan Banjar yang kualitas tulisannya masih setaraf dengan karya mahasiswa. Anjuran baiknya, siapapun sastrawan itu, jika ingin karyanya dibaca dan berbobot, harus banyak membaca karya-karya sastra dunia. Pendeknya, seniman tak boleh koler dan arogan (puas dengan apa yang telah dicapainya di situ-situ saja).

Keempat, dia mengaku punya serangkaian kiat untuk menulis sastra Banjar yang berbobot. Menurutnya, dalam kiatnya, sastra Banjar yang baik harus ditulis dalam bahasa Banjar yang baik, dalam pengertian bahasa Banjar yang kaya, variatif, kontemplatif, berwawasan, dan sebagainya, dan seterusnya. Dengan kata lain dia ingin mengatakan, sastrawan Banjar jangan sampai koler membaca jika karyanya ingin bermakna dalam, bermutu tinggi, dan akhirnya mampu menstimulasi minat pembaca, dan sekaligus penelitian sastra Banjar (lihat paragraf ke-8).

Dari keempat kesimpulan yang dapat saya catat ini, ada satu generalisasi utama yang agak gegabah dalam mendefinisikan sastra Banjar jika yang dimaksud oleh esai itu hanya sastra yang ditulis dalam bahasa Banjar. Esai Jamal tersebut tampaknya mampu melepaskan penulisnya dari kegalauan ketika dia harus mencoba mendefinisikan sastra Banjar untuk kepentingan akademik yang pernah dilaluinya. Mengapa tiba-tiba dia berbalik arah dan dengan mantap mengatakan bahwa bahasa Banjarlah identitas utama sastra Banjar.

Keyakinan ini jelas mengeksklusi, menyingkirkan, sekelompok karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Banjar dalam bahasa Indonesia. Asumsi teoretis ini mengingkari pengetahuan penulisnya sendiri tentang kompleksitas pendefinisian sastra Banjar seperti pernah dia tuliskan dalam tesisnya. Dalam tesisnya dia mengakui bahwa ada tiga kategori yang dapat digunakan untuk mendefinisikan sastra dalam hubungannya dengan persoalan hakikat identitasnya (seperti kategori bahasa, kewarganegaraan, dan orientasi sosiokultural).

Ketiganya merupakan realitas rumit yang saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, hakikat sastra Banjar tak semata dapat ditentukan secara mati dan pasti oleh faktor bahasanya saja, seperti halnya sinetron atau film yang berbahasa Indonesia tidak serta merta dapat dianggap sebagai karya sinema Indonesia. Penonton paling awam pun akan menolak menyebut film India sebagai film Indonesia meski seluruh tokoh dalam film itu telah mahir berbahasa Indonesia berkat jasa dubber (juru sulih suara).

Mengapa bisa demikian? Karena penonton bukan realitas pasif. Penonton pun punya pikiran aktif yang mampu mengidentifikasi ciri-ciri visual yang mereka tangkap sebagai bukan bagian dari realitas visual lokal mereka. Bahkan masih terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan lain untuk menggagas kategori lain dalam memahami definisi sastra Banjar demi kepentingan praktis tertentu.

Demikian pula dalam mendefiniskan sastra Banjar. Karya sastra berbahasa Banjar juga memiliki peluang untuk disebut bukan sebagai sastra Banjar. Seperti halnya Jamal mengatakan bahwa Si Palui itu bukan sastra Banjar karena ia hanyalah pembanjaran cerita dalam bahasa Indonesia. Pelajaran tentang bagaimana seharusnya kita menghadapi definisi sastra yang memang selalu berpotensi kabur dapat kita baca melalui penelitian George Quinn (1992) ketika dia meneliti novel berbahasa Jawa dalam disertasinya yang berjudul The Novel in Javanese.

Dalam seluruh uraiannya dia sama sekali tidak berani menyebut novel-novel yang ditelitinya sebagai novel Jawa, tetapi dengan penuh kehati-hatian dia menyebut novel-novel tersebut dengan istilah the novel in Javanese atau novel berbahasa Jawa. Untuk konsumsi pembaca koran, mungkin tidak ada bahaya sama sekali jika istilah sastra Banjar yang agak semena-mena itu ditawarkan. Tetapi, untuk penggunaan akademik, Quinn telah memberikan teladan agar jangan terlalu mudah menyimplifikasi persoalan yang sebenarnya rumit sebelum segala aspek evaluatif mengenai sastra Banjar yang sesungguhnya dipaparkan secara lengkap.

Sebenarnya sudah lama Terry Eagleton (dalam Literary Theory, An Introduction, 1988: 5-7) menjelaskan betapa rapuhnya jika kita mendefinisikan sastra dengan berlandaskan pada faktor bahasa semata. Secara metaforik, cara mendefinisikan sastra Banjar yang dilandaskan pada bahasa dapat dianalogikan dengan upaya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan sastra dan bukan sastra yang ngalih banar.

Eagleton menyimpulkan bahwa faktor bahasa sastra yang khas dan bahasa keseharian yang biasa adalah konsep yang bermasalah karena bahasa biasa yang dimaksud di sini diposisikan sebagai entitas homogen sehingga apa yang dianggap biasa menjadi ilusi. Batas antara bahasa yang biasa dan yang khas sebenarnya juga kabur karena bahasa sesungguhnya terdiri atas beragam variasi dan wacana, mengikuti keberagaman kelas sosial, daerah, dan jenis kelamin (Eagleton, 5-7).

Kenyataan semacam ini pun akan dihadapi oleh sastra Banjar. Penghuni sastra Banjar itu juga tidak sehomogen yang dibayangkan Jamal. Dalam konstelasi pemahaman sastra sebagai realitas bersama, pembaca yang aktif juga punya peran otoritatif untuk menyebut karya sastra yang seperti apa di banua ini yang layak disebut sebagai sastra Banjar. Dalam esainya Jamal telah memainkan peran otoritatifnya sebagai penulis yang relatif terkenal dan ingin mengidentikkan sastra Banjar dengan bahasa Banjar. Jika dipaksakan demikian, sastra Banjar menjadi rumah yang sangat eksklusif dan ngalih banar dimasuki oleh karya sastra berorientasi sosiokultural Banjar dan ditulis oleh warga Banjar dalam bahasa Indonesia.