Sabtu, 23 Agustus 2008

HABIS SURAH

Oleh Burhanuddin Soebely

Sainul Hermawan, dalam Keasingan dan Keintiman dalam Rumah Sastra Banjar, mengutip sajak Jangan Bercinta dengan Penyair karya Faiizi L. Kaelan. Kutipan itu kuanggap sebagai pilihan Sainul untuk memosisikan diri di kancah sastra Kalimantan Selatan ini. Sungguh, aku merasa bersyukur jika Sainul Hermawan mau memosisikan dirinya sebagai musuh para pesastra, sebab agaknya musuh itulah yang diam-diam tengah dicari oleh (sebagian) pesastra di banua ini. Setidaknya, dalam pembicaraan informal beberapa kawan saat Aruh Sastra Kalimantan Selatan di Tanah Bumbu, terbetik semacam konvensi untuk meletakkan persahabatan atas nama permusuhan sehingga diharapkan seseorang akan amat berhati-hati untuk mengumbar pemikiran atau menerbitkan karyanya di berbagai forum dan media. Kendati konvensi tersebut masih diembel-embeli dengan selektivitas personal—dalam arti kedewasaan dan kematangan seseorang dalam berbeda pendapat dan menerima sejumlah kritik—namun telah mencerminkan perlunya sebuah dialektika, semacam tembok di depan yang dapat memantulkan kembali tendangan bola. Selektivitas dianggap perlu karena salah-salah permusuhan pemikiran dapat berubah menjadi permusuhan pribadi nang hujungnya maulah kada barawaan atau pecahnya sebuah komunitas.

Jika tulisan ini hadir sebagai bagian dari permusuhan (semoga ini tulisan terakhir) maka itu cumalah dipicu oleh beberapa penggal kalimat yang muncul pada tulisan Sainul terkini dan terutama tulisan Jarkasi, Sastra Banjar Itu Elastis. Disadari benar bahwa barangkali tak ada hal baru. Ini sekadar ungkapan kemengertian terhadap pandangan yang lain sekaligus penegasan sikap dari pandangan di seberangnya.

Ihwal Dekonsentrasi Sastra

Konsep dekonsentrasi sastra lebih dimaknai dalam kerangka pemakaian bahasa Indonesia, semacam peluruhan “pusat sastra” dan “pemberdayaan” pesastra di daerah yang tidak menulis atau kurang tertampung di media nasional. Dalam bahasa Maman S. Mahayana, konsep sastra nasional tersebut pada ujungnya akan dimaknai sebagai konsep politik, tidak lagi sebagai konsep kultural. Kelak ketika orang berbicara tentang sastra nasional dalam pengertian kultural maka orang harus mengaitkannya dengan persoalan-persoalan lokalitas, menghubungkannya dengan karya sastra yang muncul dan bertebaran di berbagai daerah di Indonesia--yang (tentu saja) media ekspresinya menggunakan bahasa Indonesia.

Lalu di mana andaknya sastra daerah? Keberadaan sastra daerah akan amat bergantung pada perhatian masyarakat daerah yang bersangkutan. Dan karena ihwal sastra daerah bukanlah ihwal “yang menyangkut hajat hidup orang banyak”, “solusi pengentasan kemiskinan”, “peningkatan pendapatan asli daerah”, atau jargon lain semacamnya, maka sebuah sastra daerah—sebutlah itu sastra Banjar—berkemungkinan untuk hilang.

Barangkali di sinilah titik berangkatnya pemikiran Sainul yang kemudian dimakmumi Jarkasi. Sainul nampak lebih konservatif dalam mengantisipasinya, buru-buru menggembrotkan definisi sastra Banjar sebagai upaya untuk tetap mengakomodasi sastra berbahasa Banjar. Kita agaknya layak mengucapkan terima kasih atas atensi “orang asing” ini. Sementara Jarkasi, sebagai “orang dalam” buru-buru pula memakmuminya, bahkan terkesan “subversif” dengan mengatakan bahwa sastra Banjar tidak akan hilang tanpa sastra berbahasa Banjar—dengan kata lain: pangai ha mati bini tuha, ada haja bini anum nang mampilak kaya gadang dikuyak.

Aku menyadari benar dampak dekonsentrasi sastra itu, kemungkinan hilangnya sastra (berbahasa) Banjar itu. Jangankan sastra berbahasa Banjar, bukankah sejak Sumpah Pemuda sudah terbuka kemungkinan bagi hilangnya bahasa daerah karena masyarakat Indonesia menjadi monolingual, berbahasa Indonesia? Itu sebabnya pada tulisan terdahulu kusodorkan pemikiran untuk memanfaatkan arus dekonsentrasi sastra sebagai upaya meraih kesetaraan antara sastra Banjar dengan sastra Indonesia. Kesetaraan berarti yang satu tidak menafikan yang lain, perhatian terhadap yang satu tidak mengecilkan perhatian terhadap yang lain.

Sainul agaknya beranggapan bahwa dengan menggembrotkan definisi maka sastra berbahasa Banjar akan serta-merta ikut terangkat. Aku ingin mengingatkan Sainul pada sebuah kasus yang berlangsung di depan matanya. Ketika berlangsung peluncuran buku kumpulan kisdapnya Jamal, Galuh, seorang anak SMA dengan polos berucap bahwa ia kurang dapat mengapresiasi kisdap-kisdap itu karena bahasa Banjar yang dipakai banyak yang tidak dimengerti. Dia kemudian memberikan solusi agar kisdap-kisdap tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tidakkah ini bisa dijadikan deteksi dini bahwa kesertamertaan itu berkemungkinan besar menjadi nonsens?

Dari contoh kasus itu, pokok soalnya bukan berada pada keengganan mengapresiasi, melainkan pada bahasa. Logikanya, jika sastra Banjar diperkenalkan sejak dini dan intensif, atau lewat langkah programatis lainnya, maka jembatan apresiasi akan terbangun dengan baik. Baiknya bangunan jembatan apresiasi akan menjadikan sastra Banjar berumur panjang. Jadi, belum perlulah buru-buru melakukan perancuan definisi yang riskan itu, sebagaimana belum perlu mancancang Umberto Eco hanya untuk mengatakan diri sebagai manusia berpendidikan yang berpikiran modern dan mampu menangkap semangat zaman. (Ai, cakada kaya itu pang maksudku. Iya kalu, Mal?) Ayu sambat intan di luang pandulangan mun handak dipukuli urang sakampungan.

Ihwal Rumah Sastra Banjar

Ketika republik ini didirikan, sejumlah masyarakat yang maujud ke dalamnya adalah masyarakat yang berbekal sejumlah nilai budaya. Founding fathers menyadari benar hal itu sehingga melakukan beragam kompromi yang implementasinya akan dipikirkan kemudian. Perkembangan lanjut dari proses mengindonesia itu ternyata tak dapat menghindar dari hegemoni, termasuk soal budaya. Dalam pandangan hegemonik, sastra Indonesia ditempatkan sebagai wacana dominan, dan sastra daerah, sebutlah itu sastra Banjar, sebagai subordinat yang harus diintegrasikan ke dalam wacana dominan tersebut. Lebih jauh lagi, interaksi antara wacana dominan dengan wacana subordinat sebenarnya cumalah interaksi imajiner, sesuatu yang dibayangkan sebagai hal ideal, karena pada kenyataannya sastra Indonesia bukanlah puncak-puncak dari sastra daerah.

Maka rumah sastra Banjar pun berada pada semacam splendid isolation, isolasi sempurna, yang tidak mengganggu, dan diperlakukan sebagai “bagian yang diperlukan” bagi penampakan sebuah Indonesia yang raya. Jadi keterjepitan rumah itu bukanlah sepenuhnya karena kurangnya perhatian penghuni rumah. Kukatakan bukan sepenuhnya karena seperti di tulisanku dulu bahanu ti sapalihan salah buhan saurang jua. Ungkapan salah buhan saurang jua ini didahului oleh kata bahanu lantaran kesalahan itu kadang justru terbit dari kebenaran. Kebenaran, sebab rumah sastra adalah rumah yang unik. Unik, karena pesastra pada dasarnya adalah insan soliter yang dalam berkarya tidak memerlukan orang lain. Dengan demikian, di rumah sastra itu berkumpul sekian orang dengan tujuan yang sama namun belum tentu mempunyai tujuan bersama. Tujuan yang sama untuk berkarya. Tujuan bersama untuk membenahi rumah, lahan dan habitat. Bukankah sepanjang ada media yang menampung maka seorang pesastra sudah merasa berada di firdaus? Jika tak ada juga media yang menampung, bukankah masih bisa memublisirnya sendiri, entah lewat antologi bersama atau antologi sorangan wae? Bukankah dulu saat berlangsung kevakuman media penampung, sastra Banjar tetap ditulis, disurung jadi materi lomba baca “dalam rangka….”, atau diedarkan dari tangan ke tangan, dari satu komunitas ke komunitas?

Barangkali keunikan semacam itu bukan kondisi ideal dari sebuah rumah yang dibayangkan Sainul. Barangkali pula memang diperlukan para pengelola dan perawat rumah, para “pemangku adat” semacam Almarhum D. Zauhidhie, Hijaz Yamani dan Yustan Aziddin, orang-orang yang mampu maimpu penghuni rumah menyaripatikan tujuan yang sama sekaligus tujuan bersama.

Tulisan Jamal, Setia Budi, dan tulisanku tentang keadaan rumah seyogianya dimaknai sebagai ajakan ke arah penyaripatian tersebut, bukan dimaknai sebagai keterasingan (salah-tiga-orang) tuan rumah terhadap rumahnya sendiri atau dijadikan kilah ukuran agnostiknya sastra Banjar. Tapi—seperti kata Sainul—tak apalah karena inilah satu lagi bukti dampak keterbatasan bahasa yang digunakan dan keterbatasan resepsi penerimanya.

Ihwal Habis Surah

Di tulisannya, Sainul juga mengutip puisiku, Lamunan. Karena puisi dapat multitafsir maka boleh saja Sainul menafsir menurut versinya, sebagaimana boleh saja pula seorang kawan di Kandangan dulu menafsirkannya begini: lamun hujungnya pagun-pagun jua ka Tuhan, kada sarana bahujah hampai tabulangkir kitab-mangikab. Nangapa haja mun hudah hampai ka Allah Taala musti habis surah.

Ihwal habis surah itu sangkut lagi di pikiranku setelah membaca jawaban Sainul terhadap contoh kasus Menolak Panggilan Pulang Ngarto Februana dan Keluarga Trans NH. Dini. Keduanya (dan bukan sejumlah novelet Lan Fang yang berlatar budaya Banjar) sengaja kupilih karena berpotensi bermasalah jika dipandang dengan definisi Sainul. Jawabannya adalah: kita lihat dulu bagaimana masyarakat sastra Banjar memposisikan kedua karya tersebut; jika masyarakat Banjar mengiyakan, maka jadilah keduanya sebagai sastra Banjar. Dalam kalimatku: hal itu tergantung pada masyarakat Banjar.

Jika demikian jawabnya maka Fatchul Mu’in tak perlu repot menganalisis (sebagaimana lazimnya insan akademis) Burung-Burung Manyar-nya Romo Mangun termasuk sastra mana. Novel itu bisa jadi sastra Indonesia, tergantung pada….bisa jadi sastra Belanda, tergantung pada….bisa jadi sastra Inggris, tergantung pada….bisa juga jadi sastra Indonesia, sastra Belanda sekaligus sastra Inggris, jika masyarakat ketiga negara itu menerimanya; dan bisa pula jadi sastra Antah Berantah jika masyarakat ketiga negara tak berkenan menerimanya. Lagi pula, Bung Mu’in, sebutan sastra Indonesia, sastra Inggris, sastra Belanda, itu sesungguhnya salah, harus ada spesifikasi wilayahnya. Sastra Jawa, misalnya, karena BBM bermuatan Jawa dan diterima masyarakat Jawa. Bukankah ditulis dengan bahasa apa saja asal bermuatan Banjar disebut sastra Banjar, bukan sastra Indonesia? Begitu saja kok repot!

Yang repot, andai latar tempat berikut kode budayanya tidak jelas atau bahkan fiktif. Mastodon dan Burung Kondor atau Kisah Perjuangan Suku Naga dari Rendra, misalnya? Novel-novel Iwan Simatupang? Cerpen-cerpen surealis Danarto atau Seno Gumira? Ah, nantilah itu kupikirkan sambil bacacarian Umberto Eco, kaluai ada di rumah Maman S. Tawie, Tarman Effendy Tarsyad atawa Rifani Djamhari; di rumah cuma ada Eco yang dipenggal orang semena-mena. Yang penting aku sudah tahu bagaimana elastisnya definisi gembrot itu.

Ada pun ihwal habis surah adalah jawaban “tergantung pada…” itu tadi. Jawaban itu kada kawa dihual lagi. Bagaimana sikap Anda jika Menolak Panggilan Pulang dan Keluarga Trans kita klaim sebagai sastra Banjar? A. menerima. B. menolak. C. tidak tahu. Kirim SMS ke nomor….

Selamat Idul Fitri

Tabusalah sarai sarapun

Unjun di batang umpat batali

Lamun tasalah maminta ampun

Habis surah hampai di sini.

Kandangan, minggu akhir Oktober 2005

Tidak ada komentar: