Sabtu, 23 Agustus 2008

MEMETIK BANJAR DARI POLEMIK


Agus R. Sarjono

Penyair dan esais. Redaktur Horison, Ketua DPH DKJ (2003–2006)

Berawal dari esai Jamal T. Suryanata yang ditanggapi Sainul, merebaklah polemik sastra Banjar. Sejujurnya, ketika diminta saudara Sainul untuk memberi pengantar atau catatan atas polemik ini, saya bahagia sekaligus tegang. Bahagia karena saya dilibatkan dalam pembicaraan para sahabat, tegang karena kesibukan saya yang menggila belakangan ini membuat saya mungkin tidak sanggup menepati janji sesuai tenggat alias deadline. Maka saya putuskan untuk membaca tulisan-tulisan yang banyak itu dengan jurus pamungkas seorang “redaktur sejati”, yakni membaca sekilas alias membaca cepat alias skiming untuk menangkap kesan umum, kemudian mencoba menuliskan tanggapan.

Sepulang dari beterbangan kian-kemari, saya buka file yang dikirim via email tersebut dan mulai membacanya. Namun ternyata niat membaca sekilas itu tidak tercapai. Tanpa sadar saya terserap dengan asyik oleh tulisan-tulisan itu. Saya tergoda bukan hanya oleh apa yang dituliskan, melainkan terutama apa yang tidak dituliskan.

Tulisan Jamal T. Suryanata (JTS) yang mengungkapkan keresahannya melihat fenomena Sastra Banjar yang bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau, akibat kurangnya perhatian, membangunkan banyak fihak untuk menanggapinya yang dimulai dengan tanggapan Sainul. Makin lama nada polemik rupanya makin keras dan makin melibatkan emosi para penulisnya. Persoalan Sastra Banjar ternyata melibatkan hati dan emosi selain akal fikiran. Mungkin ada yang menyesalkan keterlibatan emosi ini, namun saya pribadi tidak keberatan.

Jika kita telusuri jalannya polemik, ternyata polemik Sastra Banjar tersebut –disadari atau tidak–berjalan dalam dua tataran yang tidak selalu sejalan, meski bukan tidak berhubungan. Kedua tataran tersebut adalah (sebut saja) “tataran teoretis akademis” dan “tataran praktis kepengarangan”. Keduanya dalam polemik ini tidak tidak selalu bertemu dan bersambut gayung. Tidak jarang satu fihak yang berbicara mengenai tataran kajian akademis dijawab dan ditanggapi dari perspektif dan tataran praktis kepengarangan, atau sebaliknya. Beberapa percik api yang muncul dalam polemik ini seringkali akibat dua tataran yang berbeda ini.

Lepas dari argumentasi-argumentasinya, apa yang digelisahkan JTS masuk akal dan sahih: mengapa sastra (berbahasa) Banjar tidak mendapat perhatian sepatutnya, baik bagi kalangan masyarakat Banjar secara umum, maupun terutama kalangan akademis. Saya kira, kegelisahan inilah yang mengantarkan dia menuliskan karangannya dalam bentuk esai dan bukan dalam bentuk makalah ilmiah. Bentuk esai menyediakan jalan bagi JTS untuk membicarakan pokok soal Sastra Banjar tanpa harus melalui liku-liku definisi atau rumusan serta penjelasan akademis. Tanggapan Sainul justru langsung menuju ke urusan definisi dan rumusan akademis dengan memperkarakan kesahihan teoretis –sekurang-kurangnya kekukuhan jalinan argumentasi JTS dalam urusan rumusan sastra Banjar itu sendiri.

JTS yang diterjang bangunan teoretisnya –sesuatu yang tidak selalu harus ada dalam sebuah karangan esai– dalam jawaban-jawabannya segera menyusuli bentuk esai itu dengan penjelasan-penjelasan “teoretis” dengan menggelar paparan definisi Sastra Banjar dan selanjutnya tema ini lah yang menjadi tema utama polemik. Kegelisahan awal, yakni nasib Sastra Banjar, sudah tidak terlalu kerap lagi dibicarakan.

Di sisi lain, Sainul memperkarakan definisi dan jalinan teoretis esai JTS bisa diasalkan pada kecemasannya bahwa perhatian dan semangat berlebih pada Sastra Banjar akan berujung pada pengertian Sastra Banjar sebagai sebuah konsep tertutup sehingga Banjar tidak lagi menjadi sebuah pengertian deskripsi melainkan menjadi pengertian preskripsi, tidak objektif melainkan ideologis. Kecemasan yang sama muncul pada Jarkasi yang dengan nada lebih rileks mencoba meluaskan pengertian Sastra Banjar menjadi lebih elastis –gembrot– dalam istilah Sainul. Para penanggap lain, memasukkan diri dalam dua tataran yang digelar JTS dan Sainul, sedapat mungkin dengan argumentasi dan pandangannya sendiri, tentu.

Dari dua hal ini, ternyata JTS yang sastrawan makin lama makin mendekati posisi akademis dan di sisi lain Sainul dan Jarkasi yang akademis makin lama makin mendekati posisi seorang sastrawan.

Sebenarnya, menggelisahkan kelangsungan Sastra Banjar jelas masuk akal dan dalam banyak hal diperlukan. Di sisi lain, menggelisahkan kemungkinan budaya Banjar menjadi budaya yang tertutup dan lebih gawat lagi menjadi chauvinistis, bukan hanya kegelisahan yang wajar melainkan juga patut disadari. Maka, sekali lagi, pada dasarnya polemik ini adalah polemik antara kegelisahan melihat sastra Banjar bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau vs kecemasan jangan-jangan semangat menggebu untuk menghidupkan sastra Banjar dan semangat kebanjaran ini tiba pada motto Banjar uber alles yang ketika dipraktekkan di Jerman pada zaman Nazi membuat Jerman bangkrut itu.

Kedua kekhawatiran itu masuk akal, namun sayang tidak adanya benih yang memungkinkan –sejauh terlihat pada semua tulisan dalam polemik ini– kita tiba pada apa yang dicemaskan.

Apa yang dituliskan JTS pada awal polemik ini, sebenarnya sesuatu yang sangat relevan bagi dunia akademis, namun kurang begitu relevan bagi dunia sastra dan kesastrawanan di Banjar. Sementara tulisan Sainul dan Jarkasi sangat relevan bagi dunia kesastrawanan Banjar, namun kurang begitu relevan bagi dunia akademis di Banjar.

Apa yang digelisahkan dan ditengarai JTS dalam banyak hal adalah juga apa yang digelisahkan dan ditengarai oleh Abdul Hadi WM. Dengan cukup keras Abdul Hadi mengecam Universitas Indonesia karena di Fakultas Ilmu Budaya (dulu Fakultas Sastra) terdapat pusat kajian Jepang, Pusat Kajian Amerika, dan Pusat Kajian Cina, misalnya, namun tidak ada Pusat Kajian Melayu, Pusat Kajian Hindu-Budha, atau Pusat Kajian Islam. Abdul Hadi berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia berdiri di atas pilar agama Hindu-Budha dan agama Islam. Agama Hindu Budha lah yang melahirkan khasanah sastra agung berupa kakawin-kakawin besar serta karya agung seperti Arjuna Wiwaha dan sebagainya. Sementara tidak lain tidak bukan agama Islam lah yang melahirkan khasanah sastra agung berupa syair dan hikayat serta pantun. Bagaimana mungkin –demikian Abdul Hadi, kita sibuk membuka kajian-kajian asing dan lupa membuka kajian bagi pilar-pilar penting budaya dan sastra di Indonesia. Bagaimana mungkin kita sibuk melakukan penelitian sastra lisan sementara khasanah sastra tulis yang agung dan berlimpah diabaikan. Sastra lisan, demikian Abdul Hadi, lahir dari tradisi-tradisi kecil yang belum menghasilkan aksara; sementara tradisi tulis lahir dari tradisi-tradisi besar.

Saya tidak akan memberi catatan atas ditel argumen Abdul Hadi yang mungkin tidak saya setujui, karena secara umum saya setuju dengan keberatannya. Ditilik dari segi itu, memang sangatlah wajar jika Universitas terpandang di Banjarmasin memiliki Pusat Kajian Banjar, termasuk pusat kajian sastra Banjar. Adalah wajar pula jika universitas terpandang di Banjarmasin memasukkan khasanah Sastra Banjar dalam kurikulum fakultas sastranya. Hanya universitas terpandang di Banjar sendirilah yang berhak dan patut menjadikan sastra berbahasa Banjar sebagai bidang kajian yang hasil-hasilnya kelak dipersembahkan bagi pengayaan mosaik keindonesiaan kita.

Jika demikian apakah yang disebut sastra Banjar? Saya tidak akan ikut dalam polemik ini dengan ikut berkutat mendiskusikan definisi sastra Banjar. Jika kegelisahan itu disepakati, fihak universitas mendirikan Pusat Kajian Budaya dan Sastra Banjar, fihak Pemda memberi dukungan politik dan dana bagi pusat kajian bersangkutan, maka persoalan definisi mulai dapat dilakukan. Sebelum itu, penelitian dapat didasarkan pada rumusan yang sederhana bahwa Sastra Banjar adalah Sastra yang ditulis dalam bahasa Banjar. Apakah isinya berupa sikap budaya atau etnologi Banjar atau bukan, itu urusan kemudian. Bukan tidak mungkin Sastra Banjar jumlahnya kemudian melimpah dan setelah diteliti kita tidak menemukan kebanjaran pada sastra Banjar. Mengapa hal itu terjadi, apa sebabnya secara sosiologis, psikologis, dsb., tentu merupakan tugas-tugas kajian dan penelitian berikutnya. Boleh jadi, setelah kajian-kajian dan penelitian-penelitian, rumusan mengenai apa dan bagaimana Sastra Banjar dapat dilakukan kembali dengan lebih sahih dan kokoh.

Namun, apakah maruah, jiwa, kegelisahan, dan impian manusia Banjar hanya bisa dikemukakan dalam sastra berbahasa Banjar? Ini masalah yang lain lagi. Kebanjaran bisa lahir dengan kuat dalam sastra (berbahasa) Banjar di tangan seorang sastrawan hebat yang menguasai bahasa Banjar dengan hebat dan menguasai duka gelisah manusia Banjar dengan sepenuh hati dan pikirannya. Sekalipun demikian, kebanjaran sudah barang tentu bisa lahir dengan tidak kalah kuatnya dalam sastra (berbahasa) Indonesia, bahkan dalam sastra berbahasa Inggris atau bahasa Urdu sekalipun. Dunia Maluku dengan mitos dan impian serta kegelisahan Maluku dengan baik sekali dituliskan Maria Dermout (dengan bahasa Belanda, tentu) dalam novelnya Ten Duizen Dingen, sebuah novel yang cukup berwibawa dalam khasanah sastra Belanda. Hingga kini, tak seorang pengarang Indonesia pun –apalagi pengarang Maluku– yang berhasil mengatasi kegemilangan karya Dermout tersebut.

Masalah utama dunia sastra di Indonesia adalah masalah penguasaan yang benar-benar mumpuni (mastery) atas bahasa yang digunakan sang sastrawan. Masalah utama lainnya adalah penguasaan yang benar-benar mumpuni dan mastery atas bahan yang hendak dituliskan.

Alhasil, bagi sastrawan Banjar tidak penting benar apakah ia akan menulis dalam bahasa Banjar mengenai soal Banjar, menulis dalam bahasa Banjar mengenai soal bukan Banjar, menulis dalam bahasa Indonesia mengenai soal Banjar, maupun menulis dalam bahasa Indonesia mengenai soal bukan Banjar. Yang penting adalah seberapa kenal ia dengan apa yang ditulisnya, seberapa hidup ia menuliskannya, dan seberapa gemilang pencapaian sastrawinya.

Sudah sejak lama dalam berbagai tulisan dan seminar saya mengusulkan sastrawan Indonesia untuk mengolah dan menulis yang “lokal”. Sebagian daripadanya terdapat dalam buku saya Sastra dalam Empat Orba (2001). Saya senantiasa beranggapan bahwa peluang penulis sastra Indonesia, khususnya para penulis di berbagai daerah di Indonesia, adalah justru menghasilkan karya yang kuat berakar pada lokalitas. Jika saya menyebut kata lokalitas, sama sekali saya tidak memaksudkannya sebagai warna lokal, sebagaimana pernah menjadi trend sastra Indonesia pada tahun 80-an. Lokalitas tidak lain tidak bukan adalah keterlibatan dan perhatian yang sungguh-sungguh seorang sastrawan atas tempatnya berpijak, pada persoalan yang ada di depan hidungnya, pada lingkungannya yang paling akrab dengan fikiran, nadi dan kalbunya. Toni Morisson menulis novel hebat Beloved tidak lain tidak bukan mengenai problem kulit berwarna dengan segala duka derita, impian dan gelisahnya. Ia menulis sebagai seorang kulit hitam, meskipun menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya adalah bahasa Inggris kulit hitam, bukan bahasa Inggris Hemingway. Demikian pula dengan gao Xingjian yang meskipun exile ke Perancis, ia menggali memori tanah kelahirannya dan melakukan perjalanan napak tilas ke negerinya untuk menghasilkan karya besarnya Lingshan. Hal ini juga berlaku pada V.S. Naipaul yang menulis novel-novel khas seperti A House for Mr. Biswas, serta A Bend on the River .

Tidak diragukan lagi bahwa Shakespeare adalah sastrawan Inggris yang agung. Namun, hampir dipastikan ia tidak akan mampu menulis novel seperti A House for Mr. Biswas Naipaul; demikian pula dengan Hemingway, tidak bakal mungkin ia mampu menulis novel seperti Beloved Toni Morisson. Semua novel ini ditulis dalam bahasa Inggris, namun jiwa Black American Morisson dan jiwa India Naipaul berdenyut dalam setiap frasa dan kalimat-kalimatnya.

Sebaliknya, sajak-sajak Godi Suwarna dalam bahasa Sunda, khususnya yang terkumpul dalam bukunya Blues Kere Lauk (Blues Dendeng Ikan) sarat dengan tema-tema asing seperti “Gran Prix”, “Black Sabbath”, “Jim Morisson” dan sebagainya. Apakah dengan demikian ia kehilangan kesundaannya? Justru tidak. Dengan sangat kuat sajak-sajak Godi menunjukkan bagaimana manusia Sunda menanggapi dan berkutat dengan persoalan globalisme yang menghantam harmoni tanah Priangan. Di saat yang sama, dengan mudah kita temukan karya sastra Sunda yang bertema seolah-olah Sunda dan ditulis dalam bahasa Sunda sama sekali tidak menunjukkan kesundaan. Hal ini menjadi jelas manakala diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan adalah salah satu cara menguji karya sastra. Jika sebuah novel berbahasa Banjar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi Indonesia, maka kebanjaran tidak lain hanya sebatas bahasa, meskipun dia merupakan khasanah sastra Banjar. Banyak sastra Indonesia jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris langsung menciut menjadi gema dari sastra Inggris atau Amerika yang gagal.

Saya percaya bahwa sastra besar di Indonesia—dalam bahasa Indonesia atau daerah—hanya bisa dihasilkan jika pengarangnya benar-benar masuk dan mengolah lokalitasnya masing-masing. Upaya mengharukan untuk tersaruk-saruk menjadi murid sastra dunia (baca: Barat) hanya akan menghasilkan murid abadi yang tak lulus-lulus. Salah satu pelajaran bagi calon penulis adalah copy the master alias meniru sang maestro. Tahapan ini adalah tahapan awal yang harus segera ditinggalkan oleh calon penulis untuk menjadi penulis sejati. Mengingat berlimpahnya sang maestro sastra di dunia ini, maka mereka yang gemar copy the master akan menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengcopy-copy sang master tanpa berpeluang untuk menjadi master. Dalam biografinya, Gabriel Garcia Marquez mengakui sangat mengagumi Hemingway dan berteriak memanggilnya “Maestro!!” Namun, jika saja Marquez bermental penulis modis yang bertebaran di Indonesia, maka sudah dipastikan dunia tidak akan mengenal sang maestro bernama Marquez yang bahkan melampaui kepiawaian Hemingway.

Seorang sastrawan, Banjar misalnya, yang menulis urusan-urusan umum dengan perspektif dan gaya berpuisi yang dipatok media massa tidak akan pernah sampai ke mana-mana. Mungkin satu dua sajak atau cerpennya bisa dimuat di media massa Jakarta, tapi tidak pernah akan menjadi sastrawan sesungguhnya. Sastrawan sejati tidak gelisah hanya karena tidak dimuat di media besar atau tidak ditahbiskan oleh orang pusat, tapi ia benar-benar gelisah jika tidak menghasilkan karya besar. Dan karya besar hanya bisa dilahirkan jika dia menuliskan urusan-urusan yang diketahui dan dikuasainya dengan akrab dan mendalam, yakni urusan-urusan yang berdenyut dalam urat darahnya, menyusup dalam mimpi-mimpinya, dan menggelisahkan hari-harinya. Dan semua itu, kehidupan yang dekat dengan diri dan hatinya, dituliskan dengan bahasa yang dikuasainya dengan baik mulai dari sistemnya hingga nuansa-nuansanya. Dari sini bisa lahir dunia Banjar yang ditulis oleh pendatang Madura atau Batak, dunia Banjar yang ditulis oleh orang Banjar pedalaman, dunia Banjar yang ditulis oleh orang Banjar yang tinggal di kota, dunia batin manusia Banjar yang bermuka-muka dengan budaya lain, dan sebagainya. Apakah persoalan ini akan ditulis dalam bahasa Banjar atau bukan tentu bergantung pada bahasa yang secara mumpuni dikuasai penulis bersangkutan. Apakah bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Banjar atau bahasa Indonesia atau bahasa Urdu atau bahasa Inggris, sama sekali bukan persoalan seorang sastrawan. Seorang sastrawan akan menuliskan dengan bahasa yang dikuasainya dengan mantap, karena bukan menjadi urusan sastrawan sejati apakah ia termasuk sastrawan Banjar, sastrawan inggris, sastrawan Indonesia atau sastrawan Zimbabwe.

Benar bahwa dunia batin dan dunia budaya Banjar akan terdedah dengan baik jika ditulis dengan bahasa Banjar, karena bahasa Banjar memang kompatibel bagi budaya Banjar. Namun, seorang pengarang yang menguasai bahasa Indonesia (bahkan Inggris) dengan baik akan mampu mencari jalan untuk mengungkapkan dunia batin dan budaya Banjar dengan bahasa Indonesia atau Inggris, dengan tantangan yang berbeda dengan jika ia menulis dalam bahasa yang kompatibel dengan dunia batin dan budaya yang ditulisnya. Ajip Rosidi pernah mengutip sepenggal karya Haji Hasan Mustapa dalam bahasa Sunda yang penuh dengan permainan bunyi, sambil mengatakan bahwa sajak ini mustahil diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan permainan bunyinya. Karena penasaran, kami mencoba, ternyata sajak itu bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pengalaman saya menerjemahkan sajak-sajak penyair besar Jerman dalam rangka Seri Puisi Jerman menunjukkan bahwa pada dasarnya bahasa memiliki pula sifat generic sehingga dapat saling diterjemahkan. Maka dunia Jerman pun bertransformasi dalam bahasa Indonesia lewat terjemahan. Sebaliknya pun demikian bila sastra Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Benar apa yang dikemukakan Jose Saramago, bahwa “sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasional. Sastra dunia diciptakan oleh penerjemah”. Untuk kasus Indonesia ia bisa berbunyi, sastrawan Banjar (dan daerah lain) dengan bahasanya menciptakan sastra Banjar (dan sastra daerah lain). Sastra Indonesia diciptakan oleh penerjemah (ke dalam bahasa Indonesia). Bagi sastrawan Banjar yang akan menulis dalam bahasa Banjar, pendapat Saramago ini dapat dijadikan pegangan. Sejak lama saya menyerukan perlunya menerjemahkan sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia. Maka jika sastrawan Banjar menulis dalam bahasa Banjar, menjadi tugas Pusat Kajian Budaya dan Sastra Banjar lah untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia agar menjadi bagian dari sastra Indonesia.

Ada persoalan yang tidak produktif namun laten dalam sastra di Indonesia, yakni kegelisahan sastrawan untuk diakui pusat dan menulis dengan selera pusat. Pusat, adalah sebuah mitos dan boleh jadi ilusi. Ini berani saya katakan karena lebih dari 6 tahun saya berdiam di lembaga yang dianggap pusat dalam sastra Indonesia, yakni majalah Horison dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Sebagai redaktur majalah Horison dan Ketua Komite Sastra DKJ, kemudian salah seorang Ketua Dewan Pengurus Harian DKJ, saya melihat dan menyadari bahwa potensi sastra justru berdiam di daerah-daerah. Baik dalam Horison maupun di DKJ—sekurang-kurangnya periode saya—kami menolak adanya mazhab sastra tertentu sebagai mazhab panutan. Hal ini bisa diuji dengan membaca karya yang dimuat di Horison atau menilik sastrawan yang ditampilkan atau diterbitkan DKJ. Niscaya akan didapati beragamnya gaya dan mazhab estetik. Mengapa? Karena seorang sastrawan sejati tidak patut mematut-matut diri untuk sesuai dengan selera estetik media manapun atau so called tokoh-tokoh sastra manapun agar bisa dimuat atau diberi kesempatan. Estetika dan gaya sastra yang otentik niscaya lahir dari pergulatan yang otentik dengan kehidupan sang sastrawan. Gaya estetik bukanlah baju dalam fashion shows yang dengan mudah dipasang dan dicopot peragawati tergantung selera desainer tertentu. Sastrawan Banjar yang menuliskan persoalan yang hidup di tanahnya dengan segala duka gelisahnya niscaya menghasilkan karya yang tak tergantikan dan tidak bisa ditulis oleh Rendra, Sutardji, Goenawan Mohammad atau siapapun, sebagaimana Ronggeng Dukuh Paruk tidak mungkin bisa ditulis oleh bukan Ahmad Tohari.

Hikmah yang didapat dari polemik panjang ini adalah kita diajak kembali merenungi dan memandang ulang sastra Banjar, jiwa Banjar, budaya Banjar, impian Banjar. Semoga nikmat perdebatan ini segera disusul oleh nikmat perbuatan, yakni segera berdirinya lembaga kajian budaya dan sastra Banjar di universitas terpandang di Banjar, meningkatnya perhatian serta dukungan—baik politik maupun finansial—dari pemerintah daerah, serta semaraknya penulisan karya-karya agung di Banjar yang dimasyarakatkan dan diperkenalkan lewat berbagai cara—pendidikan resmi dan pemasyarakatan di media setempat. Juga semoga dunia batin dan budaya serta kegelisahan dan impian masyarakat Banjar yang merupakan ladang emas dan uranium yang hebat dapat ditambang dan digali sendiri oleh para sastrawan Banjar menjadi karya-karya emas dalam sastra Indonesia. Saya menunggu hasilnya sambil bersedia-sedia membantu sebisa mungkin jika memang diperlukan.

Terakhir, semoga polemik ini tidak berakhir seperti pantun berikut ini:

Jarum jahit penusuk bulan

Tiba di bulan patah tiga

Di langit tanda kan hujan

Di bumi setetes tiada.

Salam.

Agus R. Sarjono. Penyair dan esais. Redaktur Horison, Ketua DPH DKJ (2003–2006).

Tidak ada komentar: