Selasa, 19 Agustus 2008

SASTRA BANJAR ELASTIS

Oleh Jarkasi

Saya yakin dan terus meyakini bahwa kesusatraan akan selalu hidup bagai organisme. Dalam fase-fase tertentu ia bisa takang, tetapi pada fase berikutnya bisa saja ia bergerak liar seirama kemajuan-kemajuan berpikir orang. Dalam analogi lain, bukankah era ular lidi, naga balimbur, gigi haruan pada fase ornamen Banjar berikutnya mengakui masuknya inspirasi baru sehingga mewujudkan tali bapintal, gagatas, dan nenas. Karena itu, bisa saja pada fase-fase selanjutnya inspirasi itu terus berdialektik mencari kemapanan baru.

Dinamika berpikir bisa saja bergerak pelan dan hadir mencengangkan orang di sekelilingnya. Ini terjadi karena orang menginsyafi hikmah berpikir yang dikaruniakan Allah swt. yang selalu dimanfaatkan secara tepat dan benar. Allah swt. mempersilahkan manusia untuk mencari dan menemukan tanda-tanda baru kebesaran-Nya, tapi bukan untuk menjadikan diri sendiri lupa, lalu menganggap mapan dan paling benar. Sepanjang orang masih bisa memperdebatkan melalui tangga-tangga argumentasi—bukan ekspresif—tentu masih bisa dipakai sebagai sebuah medan adu pikir. Kita yang menghormati proses berpikir, mari kita sama menjauhkan pikiran kasar yang berakar pada sentimen dan ego kultural.

Sungguh banyak hal dalam hidup ini yang belum tertuntaskan, karena itu mari bekerja sama menelaahnya secara proporsional. Untuk menyederhanakan perbedaan yang ada mari kita mempertimbangkan satu hal yang biasanya dipakai dalam penerapan cara berpikir ilmiah. Salah satunya adalah mengotak-atik batasan operasional. Saya melihat, dua hal yang tidak bisa disatukan dari pandangan kesastraan adalah, masih dikuatkannya batasan-batasan lama tentang satu hal yang sesungguhnya bisa meninggalkan kita dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang seharusnya juga bisa disikapi. Misalnya, definisi sastra yang hanya mengandalkan objek-objek masa lalu selalu akan mengalami kegagalan jika berhadapan dengan fenomena baru dari suatu kenyataan trend cipta sastra mengacu pada idiom ketegangan dan pembaharuan. Ambil contoh, sastra dimengerti sebagai karya bahasa yang indah bagus. Terkadang sukar menemukan mana indahnya dan mana bagusnya. Lalu, muncul pula definisi turunannya, puisi adalah karya terikat; terikat oleh bait, irama, bahasa dan sebagainya. Sebaliknya, prosa, katanya karya yang bebas, tidak terikat oleh baris, bait, irama, dan format. Pemahaman itu selalu terbaca dalam buku-buku pembelajaran sastra masa lalu. Selanjutnya, kita pun bertemu dengan puisi-puisi mutakhir sebutlah misalnya puisi konkret, puisi kotak, puisi mini kata, puisi bebas atau puisi-puisi yang lebih mengutamakan isi. Begitu juga, kalau kita menemukan prosa-prosa liris atau juga prosa-prosa mini, kita pun menjadi bingung merekonstruksi cetak biru dari pemahaman prosa yang pernah kita tangkap dari beberapa fase sekolah. Serpihan otak kiri dan kanan kita sering berdebat internal, apa yang salah dengan pengertian masa lalu. Demikian pula sering orang memberi batasan bahwa fiksi adalah karya imajinatif (khayal), dan non-fiksi adalah karya ilmiah tanpa khayal. Namun, kenyataannya banyak fiksi yang memuat fakta, sebaliknya begitu bejibun orang merekadaya sebuah penelitian di belakang meja atau tulisan-tulisan yang dikategorikan non-fiksi tapi sesunggunya fiksi. Kita menjadi asing dalam sangkar emas yang kita ciptakan sendiri. Kita tidak bisa keluar menyaksikan keramaian.

Seyogianyalah, kita tidak mesti harus terkejut dan sinis memandang kalau ada seorang yang berpendapat bahwa karya sastra itu memiliki dimensi yang cukup dinamis dan bergerak bagai organisme. Jika ada sastra Banjar yang tidak berbahasa Banjar sebutlah misalnya bahasa Indonesia, Inggris, Perancis, Jepang dan sebagainya, saya pikir itu hal-hal yang ringan saja. Lalu apakah sastra yang berbahasa Banjar sendiri kita tinggalkan, ya enggak toh. Sebab, ini fase yang pernah dilalui dan kita memang harus memahami dinamika itu. Bertahan dalam sangkar emas pengertian bahwa sastra Banjar—apakah puisi atau prosa—dibangun oleh bahasa Banjar adalah sesuatu yang sebaiknya kita retrospeksi lagi jika tidak ingin dikatakan membelenggu bagi pencapaian gairah lain dalam pengembangan kode kultural. Masalahnya, trend cipta sastra itu sendiri bergerak liar. Perdebatan klasik sering dihembuskan trend penulisan teori sastra selalu tertinggal dengan kemajuan yang terjadi dalam dunia sastra itu sendiri. Lalu, jika ada yang berpendapat bahwa sastra Banjar tidak mesti dengan bahasa Banjar dengan segera kita tafsirkan orang itu tidak senang sastra Banjar atau sikapnya arogan, tidak mencintai sastra Banjar, dan sebagainya. Ini namanya lain gatal lain yang digaruk.

Saya memahami, ada dua pemikiran dasar yang basengkengan tetapi sama-sama argumentatif—boleh terus dibedakan atau mau dikombinasikan juga boleh. Yang pertama membawa definisi teoretis-operasional, sedangkan yang satunya lagi harmonis kondisional. Yang pertama akan menafikan segala bentuk perkembangan pikiran-pikiran baru yang “mungkin tidak salah”, sedang yang satunya lagi punya pandangan jauh ke depan seirama dengan sifat cipta sastra yang selalu bergerak “liar”. Dua pokok pikiran ini memang sulit bertemu. Karena itu, saya lebih senang menyerahkannya kepada audiens dan membiarkan kreativitas ini hadir, mengalir tanpa harus dibelenggu. Dalam ilustrasi lain, saya paling sedih kalau ada tulisan di pangkalan becak; becak lain silahkan jalan atau ojek lain silahkan terus. Seperti tidak menyukai kalau ada orang lain mendapatkan rezeki dari Allah swt. di dekat pangkalan itu. Ilustrasi ini bisa diteruskan, semakin tidak bisa berterima kalau kita berbeda pandangan dalam memandang sesuatu yang bergerak dinamis.

Umberto Eco (1976: 7) dalam bukunya A Theory of Semiotics mengingatkan, kita harus sadar kapan kita merasa dikelabui, mengapa itu terjadi, dan bagaimana itu terjadi. Ungkapan ini bisa saya imajikan kadang-kadang tanpa sadar kita membohongi atau mengelabui orang lain dengan tanda-tanda dan simbol yang kita nyatakan, padahal simbol itu memiliki fase-fase makna tersendiri dalam arus zaman. Ada semangat zaman yang harus kita baca. Itulah sebabnya, saya tentu tidak akan keberatan kalau sastra yang berbahasa Indonesia atau bahasa asing bisa dikatagorikan sastra Banjar jika sastra tersebut memuat kode-kode kultural Banjar atau setidaknya bisa dengan alih kode (code switching).

Disayangkan, ini menjadi rumit karena setiap “kita” hanya berpegang pada satu realitas masa lalu sebagai pintu yang dikunci rapat. Boleh ‘kan kalau saya berpostulat bahwa kita perlu mempelajari alam nyata untuk bisa juga meraba di mana gelap dan di mana terang. Saya khawatir, jangan-jangan si Nurdin memahami perkuliahan bahasa-sastra di Program Studi PBSID itu menangkap simbol-simbol yang zakelijk, padahal dia perlu berpikir liar dan ambivalen.

Sastra kita bergerak dinamis dengan medan ungkapan yang multimedia. Itu tidak bisa dihindari. Yang harus dijaga adalah, setiap media mesti memelihara titik kulturalnya. Apa pun bahasa yang dipakainya akan kembali ke titik pusatnya “Banjar”. Ini perlu kesabaran kita memahaminya. Pemahaman akar itulah yang tidak boleh hilang. Kalau kita bicara akar, linierkah maksudnya dengan bahasa? Tidak, ‘kan? Bahasa hanya sarana berpikir, alam berpikirnya sendiri utuh dan mengikat sekali dengan kode kultural. Beda sekali dengan teater, tari, musik yang secara inheren itu semua adalah sistem kesenian, sedangkan substansinya amat universal. Jadi tidaklah patut dikhawatirkan jika sastra Banjar itu bukan berbahasa Banjar. Fenomena ini ‘kan bisa saja terjadi secara temporer, tetapi pintu masuknya tersedia, bukan menguncinya rapat-rapat.

Jika si Nurdin cuma cinta dan takjub pada sastra berbahasa Banjar, sedangkan dia banyak sekali menemukan kode-kode budaya Banjar dalam sastra berbahasa lain, bingung ‘kan? Kebetulan minum di warung Acil Mijah, lalu taulai ai. Jika Nurdin membaca tulisan ini, saya sarankan agar dia mau memahami dunia sastra yang multidimensional agar sastra itu memiliki kesaktian untuk langggeng. Jika Nurdin ikut mendulang, jangan terlalu banyak mencintai mitos, tapi perbanyak hati-hati sebab lobang dulangan itu bisa rumbih dan kita bisa mati tapatak di dalamnya. Kita masih asyik dengan sesajen dan piduduk, saat mau mendulang, sedangkan orang lain sibuk sekali dengan mesin-mesin dan alat-alat canggih.

Memahami dunia sastra perlu pertimbangan. Jangan terlampau mengandalkan romantisme, sebab bisa-bisa salah kaprahnya tentang yang kita sangka isinya padahal kulitnya, yang kita sangka identitas ternyata bajunya. Dalam pandangan ilmu kesehatan suatu penyakit bisa saja disembuhkan dengan menginsyafi bahwa kumpai-kumpai di halaman kita dan di dalam diri kita justru begitu banyak tatabulan yang memang sebaiknya ditabasi. Kekhawatiran kita terhadap kelesapan apa yang kita maksudkan dengan identitas kesusastraan Banjar—jika memang tidak ada penerusnya atau tidak ada pengayoman pihak tertentu—sesungguhnya bisa dikreativitaskan dan redam dengan penglihatan terhadap kontinyuitas akar budaya, keharusan untuk kontinyu serta kerelaan untuk modifikasi. Kita justru akan makin gagal untuk berbangga diri sebagai komunitas yang memiliki sastra Banjar ketika berjalan dengan satu wajah cemberut dan konservatif.

Apakah sastra Banjar akan hilang tanpa sastra berbahasa Banjar? Tidak, kan? Yang penting kita tidak akan menampik, siapa pun dan bahasa apa pun yang datang dan sungkem mengangkat akar budaya Banjar—kendati sekedar datang ber-KKN atau datang menjenguk mertua—jangan takut mengakui bahwa yang ditulisnya itu adalah sastra Banjar atau yang lebih khusus lagi subdialeknya karena sarat kode kulturnya. Tak ada dosa juga ‘kan kalau sastra Banjar itu ditulis dalam bahasa yang bukan Banjar. Ini artinya makin berpihak pada kreativitas. Rasanya, tak ada juga pihak yang kredibel memberi fisibilitas untuk menentukan sastra Banjar adalah berbahasa Banjar atau sastra Banjar harus berbahasa Indonesia atau bahasa asing. Yang ada semua pihak diberikan kesempatan melangsungkan interaksi kreatif dengan sastra “kita Banjar”. Yang penting jangan mengatakan sastra berbahasa Banjar itu sudah tak dipercaya atau ketinggalan zaman, atau sastra berbahasa Banjar itu uyuh. Kalau yang terakhir ini bahualai ganal am.

Terus terang saya tidak ingin lagi mengingat-ingatkan dengan sikap politik. Saya hanya ikut membela siapa pun dan dengan bahasa apa pun yang menulis sastra Banjar dengan kekentalan kode budaya Banjar boleh jadi adalah sastra Banjar. Apakah sastra Banjar anggota biasa luar, anggota biasa, atau sastra Banjar anggota kehormatan. Itu sih berkenaan dengan sikap politik yang tidak saya senangi. “Kita” terkadang paling senang menciptakan batasan-batasan dan kategori eksklusif, yang hanya didasari oleh kecemburuan dan konservatif.

Tidak ada komentar: