Selasa, 19 Agustus 2008

MEMBUANG RASA KAGUM TERHADAP SASTRA BANJAR


Obrolan Sambil Lalu

Oleh Setia Budhi

Aku tak merasa terlalu penting untuk mengulas, menganalisis, menjelaskan sampai tajungkir tasumbalit apakah sastra Banjar itu ada atau tiada, apakah sastra Banjar itu diakui atau tidak diakui atau apakah sastra Banjar itu dikenal atau tidak dikenal. Sebab bagiku perdebatan itu memang perlu, tetapi aku tiada daya dan upaya melakukannya dikarenakan “ngelmu kebathinanku’ tak cukup untuk itu. Daripada mambuang liur basi, lebih baik aku menulis saja apa-apa yang didepan perlu dilakukan.

Seorang guru bahasa dan sastra di pelosok kampung dengan geram sekali mengulas di Radar Banjarmasin perihal spiritualitas dan modernitas sastra Banjar, sementara musuh babuyutannya adalah seorang di negeri angin yang dengan gagah perkasanya menyoal ketandusan, kegersangan dan kehampaan sastra di komunitas yang bernama Banjar.

Apakah yang kita maksud dengan dunia sastra sebenarnya adalah semacam dunia panggung yang berkuasa. Kalau sastra tak berpangung, maka kita kemudian menafikannya dan kalau sastra itu sepi, tidak laris, diam dan lampus maka kita tak mengakuinya sebagai sebuah dunia sastra dan seni. Apakah sastra dan seni merupakan dunia pentas dalam panggung yang hiruk pikuk dalam macam perselingkuhannya?

Jikalau karya sastra yang dianggap sebagai ekspresi kejiwaan dan persepsi terbuka dari apa yang terselubung dalam impresi estetika, mempunyai tugas apa yang berkecamuk dalam diri manusia dan dalam alam semesta. Lalu, di manakah ekspresi sastra Banjar kita temukan?

Orang gila pernah berkata, “Tidak seorang juapun seniman dapat menerima kenyataan”, oleh sebab seniman tidak mau menerima kenyataan maka beliau kemudian membuat kenyataan lain: Sebuah kenyataan yang dianggapnya lebih baik, lebih indah, lebih menjadi, bermakna, bermoral dan lebih ber-Tuhan.

Sastra Banjar adalah kenyataan dari hasil karya yang akrab seperti ditemukan dalam pentun, puisi, hikayat maupun mantra-mantra para pedukunan, tetapi juga sebagai sesuatu yang asing. Karya sastra Banjar yang asing karena ternyata dunia lain seperti yang terdapat dalam karya seni sama sekali tidak dapat dijalani.

Apakah cerita dalam Hikayat Banjar ada dalam dunia nyata?

Berkali-kali aku membaca Syair Siti Zubaidah, lalu berkali-kali juga aku berkata, ”Seandainya saja, ada pemimpin yang adil bijaksana di Banua Banjar sebagaimana Syair Siti Zubaidah, tentulah aku akan merasa bahagia dunia akhirat”

Bagiku apakah cerita Hikayat Banjar atau Syair Siti Zubaidah yang dapat dikategorikan sebagai karya sastra yang istimewa tentang sebuah dunia imajinasi ataupun realitas yang menjadi terimajinasikan.

Bahwa kesetiaan terhadap sebuah karya sastra Banjar yang diperlihatkan oleh seorang guru bahasa dan sastra di pelosok negeri patutlah diberi apresiasi, tetapi bahwa kemampuan untuk membuang rasa kagum terhadap sastra Banjar oleh orang-orang kota dapat dilihat sebagai teropong memandang sastra Banjar sebagai sesuatu yang asing.

Mencairkan sastra Banjar sebagai karya mungkin tidak mengharuskan karya itu dihasilkan oleh seorang seniman besar semacam Ronggowarsito atau Raja Ali Haji atau Sultan Adam, sebab seseorang yang tidak makan sekolahan pun juga melahirkan karya-karya besar dalam zamannya.

Seorang Balian di daerah pedalaman Kalimantan telah melahirkan sastra begitu juga seorang dukun telah melahirkan sastra melalui mantra-mantra yang diingat, ditulis dan dibacakannya. Bukankah, kalau begitu mantra-mantra urang Banjar adalah sastra Banjar juga.

Tibalah, tulisan ini dengan sejumlah pertanyaan untuk dalam apa yang disebut Seno Gumira Ajidarma sebagai Obrolah Sambil Lalu.

Bahwa sayang sekali sastra Banjar yang kalau mau dikategorikan (sekali lagi kalau memang mau) mulai dari sastra Banjar klasik, sastra Banjar zaman kolonial, sastra Banjar pasca kolonial, sastra Banjar modern, sastra Banjar Posmodern, sastra Banjar Kiri, sastra Banjar Kanan, Sastra Banjar Religius, Sastra Banjar Anti Tuhan, Sastra Mantra Banjar, Sastra karya seniman dan bukan seniman, sastra Banjar karya Sang Balian, Karya Sang Pedukunan dan Para Dalang, Karungut, Andi-Andi, Syair Baayun Anak, Syair Mamanda. Sastra Banjar yang dibuat zaman Pergerakan, zaman Pangeran Antasasi, zaman Ibnu Hajar, zaman Ngayao, Zaman hulu balang, zaman krisis ekonomi atau zaman merdeka adalah sederatan sastra-sastra yang menanggung beban pada sejarahnya masing-masing.

Sastra Banjar kategori fungsional, Sastra Banjar kategori struktural, Sastra Banjar Filsafat, pesan-pesan moral. Sastra Banjar picisan dan entah banyak lagi.

Aku berpikir, manakah karya-karya sastra yang itu kita perdebatkan dalam silang pendapat dalam silang sengkarutnya? Sebab dengan ketiadaan sumber-sumber perdebatan maka yang akan terjadi adalah sebuah kehampaan.

Kembali ke asal muasal Obrolan Sambil Lalu ini, adalah tugas paling mulia di hadapan waktu yang terbentang untuk kemudian bergerak bekerja pada sebuah pertanyaan sederhana ”Di manakah rumah sastra Banjar yang kita kagumi?” Kepada siapakah menyatukan raga dalam sattra Banjar yang semesta, apakah kepada kesunyian ataukah kepada keabadiannya ataukah kepada dunia hari ini?

Aku menyukai perdebatan antara orang-orang pedalaman dengan orang-orang kota sebab di antara keduanya telah membuat sastra Banjar kita menjadi bangkit dari liang kuburnya. Itu sebabnya aku nyaris pingsan ketika membaca Sanusi Pane dalam Kesunyian Malam Waktu.

Dibawa Gelombang

Sanusi Pane

Alun membawa bidukku perlahan

Dalam kesunyian malam waktu

Tidak berpawang, tidak berkawan,

Entah ke mana aku ta’tahu

Jauh diatas bintang kemilau

Seperti sudah berabad-abad

Dengan damai mereka meninjau

Kehidupan bumi, yang kecil amat

Aku bernyanyi dengan suara

Seperti bisikan di daun

Suaraku hilang dalam udara

Dalam laut yang beralun-alun

Alun membawa bidukku perlahan

Dalam kesunyian malam waktu

Tidak berpawang, tidak berkawan,

Entah ke mana aku ta’tahu

Kuala Lumpur, 16 September 2005

Tidak ada komentar: