Selasa, 19 Agustus 2008

SASTRA BANJAR ITU HARUS TERUS ADA

Syarifuddin R

Penelusuran dan pencarian identitas sastra Banjar yang telah digaungkan sungguh menarik untuk dicermati. Dari ragam penyiasatan yang diutarakan para penulis yang terlibat di dalamnya memberikan peluang untuk dibahas dan dikritisi kembali. Walaupun sesunggguhnya berbeda pendapat bukanlah tradisi yang kuat berakar dalam kehidupan keseharian masyarakat kita. Sebab sudah menjadi kebiasaan yang terpola bahwa apa yang dikatakan orang tua, sesepuh atau senior harus diterjemahkan sebagai pendapat yang terbaik. Setiap nafas dan suara yang membalut pendapat sesepuh atau yang dituakan dalam tradisi itu senantiasa memiliki cap kebenaran yang tak terbantahkan.

Kenyataan yang masih berlaku dalam masyarakat tersebut telah menutup ruang untuk mendebat, karena berbeda pendapat berarti identik dengan membantah dan percekcokan. Sementara tuntutan kekinian untuk mendapatkan kebenaran dalam pengetahuan justru harus membuka ruang perbedaan pendapat. Peran orang tua, sesepuh atau senior itu dalam bidang keilmuan kurang lebih sama dengan pakar atau ahli tertentu sesuai disiplin ilmunya. Bedanya dalam hal polemik para pakar umumnya memandangnya sebagai sesuatu yang biasa dan bahkan harus selalu dibangun agar tercipta ruang berpikir yang sehat dan variatif. Para pakar meyakini polemik selain mampu membuka cakrawala berpikir juga menjadikan kepakaran mereka semakin terkenal. Sedangkan orang tua atau sesepuh selalu menempatkan pendapatnya adalah yang terbaik dan harus bisa diterima, karena jika ada yang mempermasalahkannya berarti telah menurunkan wibawanya.

Dalam tradisi perdebatan seakan hanya boleh terjadi untuk mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang setara. Pada tataran sederajat tersebut mereka dianggap memiliki otoritas berpendapat yang sama. Sehingga kekuatan dalam menentukan kebenaran atau yang paling berterima sangat tergantung pada argumentasi yang dikemukakan. Namun sering pula terjadi polemik terputus (tidak tuntas) manakala muncul kekuatan tradisi yang telah menganggap diri sendiri lebih mengetahui atau lebih berpengalaman. Kemungkinan lain kalaupun polemik dilayani, kesan dan isinya hanya untuk melecehkan. Kekuatan tradisi yang mengagungkan diri sendiri seperti lebih mengetahui dan lebih berpengalaman telah menghambat jalan bertukar pikir. Dengan keagungan diri sendiri itu, maka mudah melahirkan ungkapan baru seumur jagung, masih bau kencur atau hanyar pacah dihintalu yang tidak lain dimaksudkan untuk meremehkan pendapat pihak lain. Namun sebaliknya tradisi juga mengajarkan kepada seseorang untuk bersikap rendah hati. Tapi sikap rendah hati sering pula diusung secara berlebihan, sehingga kesannya tetap keangkuhan diri.

Pengemasan argumentasi yang dicuatkan dalam aneka ragam tulisan kreatif menjadikan polemik sastra Banjar memiliki kekuatan bertahan. Dengan keunikan ragam pendapat yang dimunculkan dapat melenyapkan kebuntuan dan tidak meyebabkan pencarian identitas terhalang. Bahkan dari polemik sastra Banjar yang berkembang telah menunjukkan kemampuan melintasi tradisi, sehingga dapat menerima dan memahami perbedaan pendapat. Cara berpikir dan bersikap berbeda dengan tradisi juga merupakan buah perkembangan kesusastraan itu sendiri.

Berdasarkan pencermatan pada kesusasteraan di Indonesia yang memperlihatkan berbagai ragam bahasa dan kebudayaan yang ada di dalamnya, seperti tercermin pada sebagian besar karya yang dihasilkan. Pengertian kesusasteraan di sini, tentu tidaklah mungkin mengabaikan keberadaan sastra lisannya. Dengan memahami dan memaknai keberadaan sastra lisan yang hidup dan berkembang, mendekatkan kita kepada titik pencarian yang dikehendaki. Karena baik dilihat secara sempit dari sudut sastra maupun yang lebih luas kebudayaan, sastra lisan merupakan cikal bakal dari perkembangan sastra tertulis. Kemudian dilihat dari sudut kebudayaan, sastra lisan berawal pada pengucapan yang langsung dari jiwa rakyat yang merupakan bagian lapisan bawah masyarakat. Sehingga penyebutan identitas di belakang kata sastra lisan senantiasa terkait dengan manusia atau orang yang memiliki kebudayaan.

Dengan mengacu pada keberadaan sastra lisan (Banjar) yang lebih dulu ada, mestinya penyebutan sastra Banjar tidak perlu menanggung beban yang berat dan rumit. Dari beberapa argumentasi yang dikemukakan dalam polemik sebenarnya telah menjawab keraguan tentang keberadaan dan identitas sastra Banjar. Sumber tertulis yang berasal dari sastra lama dan sastra lisan Banjar, telah pula dimiliki dan terekam dalam beberapa buku. Jika kita kaji sastra lisan Banjar yang dimuat dalam Anthology of Asean Literatures Oral Literature of Indonesia (Bunga Rampai Sastra-Sastra Asean, Sastra Lisan Indonesia) yang diterbitkan The ASEAN Committee on Culture and Information, (1983) tentu tidak terlepas dari orang dan kebudayaannya. Sastra lisan yang dimuat dalam buku tersebut bukan hanya pantun, tetapi juga ceritera rakyat yang dikembangkan berdasarkan bahasa tertulis dengan menggunakan bahasa daerah (Banjar) dan Indonesia.

Karya Anggaraini Antemas (Yusni Antemas) yang berjudul Kehancuran di Baruh Kelayar yang mengangkat latar belakang budaya daerah dan telah diterbitkan Balai Pustaka melalui Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah (1980), memang tergolong sastra lama karena diangkat dari folklore. Tetapi gaya bahasa dan ungkapan yang digunakan untuk menuliskan tujuh pragmen/episode telah ditulis seperti ceritera bersambung atau novelet yang menarik untuk dibaca. Seandainya pembaca buku Kehancuran di Baruh Kelayar tidak diberi penjelasan tentang isi buku tersebut berasal dari ceritera rakyat dan tergolong sastra lama, mungkin saja disebut karya sastra Banjar modern.

Penyiasatan kita untuk mengetahui, memahami atau mempercayai sesuatu bisa dilakukan dengan bercermin pada pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh. Penelusuran pada teks kajian yang sering dijadikan acuan, mengharuskan seseorang menimbang-nimbang fakta ilmu berdasarkan bahan rujukan yang pernah ada. Tetapi ukuran keberadaan sastra Banjar tidak hanya dilihat dari berapa banyak yang telah ditulis dan siapa saja penulisnya. Sebab walaupun ada naskah-naskah sastra Banjar modern yang ditulis, namun pertanyaannya siapa atau instansi mana pula yang berkenan menerbitkannya

Menyikapi persoalan bagaimana sesungguhnya sastra Banjar itu, kita dapat beranalogi dengan pendapat Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo tentang sastra Indonesia. Menurutnya sastra Indonesia itu, tidak hanya berbahasa Indonesia saja. Sastra Indonesia itu juga ada yang berbahasa Jawa, berbahasa Sunda, Berbahasa Inggeris, Berbahasa Belanda. Segi terpentingnya adalah penulisnya orang Indonesia, juga pakai idiom-idiom Indonesia, dan berlatar budaya Indonesia (berita buku no.62 tahun VIII Agustus l996). Jadi, kalau kita menggunakan analogi pendapat Suripan Sadi Hutomo tersebut, maka yang disebut sastra Banjar itu tidak hanya berbahasa Banjar saja. Sastra Banjar itu juga ada yang berbahasa Dayak, berbahasa Jawa, berbahasa Sunda, berbahasa Indonesia, berbahasa Inggeris atau berbahasa Belanda. Sudut pandang utamanya adalah penulisnya orang Banjar, pakai idiom-idiom Banjar dan berlatar budaya Banjar.

Jika Suripan Sadi Hutomo mengatakan bahasa bukan ciri utama dalam menentukan identitas sastra dapat kita pahami. Karena bahasa lebih berfungsi sebagai media penyampai pesan, bukan pesan itu sendiri. Mungkin pula kita bisa mencari alasan yang lain dengan beranalogi pada materi lain, misalnya tentang apa yang disebut sejarah Banjar. Meskipun bahasa yang digunakan untuk menulis sejarah Banjar adalah bahasa Belanda, tetaplah tidak mengurangi arti sejarah Banjar tersebut. Seyogianya kalau sastra Banjar tidak ditulis dengan bahasa Banjar, namun idiom-idiom Banjar dan latar budaya Banjar merasuk dalam karya yang dihasilkan, apalagi ditambah penulisnya orang Banjar tetap dapat disebut sastra Banjar.

Perkara mengapa karya-karya yang menggunakan idiom-idiom daerah/negara oleh pengarang Indonesia tidak serta merta disebut sastra daerah/negara tertentu, pasalnya sangat terkait dengan tujuan penulisannya. Namun dalam konteks polemik yang terjadi sebenarnya kita lebih memerlukan orang-orang yang memiliki jiwa penyelamat untuk kesinambungan sastra Banjar agar terus ada dan terjaga. Perhatian dan kepedulian pada sastra Banjar harus terus diupayakan, jangan sampai kita tetap berada dalam alam tradisi lisan, karena tidak ada yang mau dan mampu menuliskannya.

Terlepas dari persoalan mana yang paling tepat dan benar, sesungguhnya pedebatan sastra Banjar telah membuka cakrawala berpikir lebih luas. Layar boleh saja ditutup, karena untuk episode ini telah habis. Polemik boleh berlalu, namun semua argumentasi telah terhimpun dalam buku. Tapi besok atau kapanpun kita buka lagi polemik baru dengan semangat menggebu.

Tidak ada komentar: