Selasa, 19 Agustus 2008

SASTRA BANJAR, NGALIH BANAR


Oleh Sainul Hermawan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik kalau kita membaca esai Jamal T. Suryanata, “Senyum Nurdin dan Sastra Banjar”. Sebuah esai bergaya cung parahu, siapa kana kada tahu. Konon gaya retorika semacam ini bermakna serius sekaligus main-main. Serius karena isu itu dilemparkan kepada sesuatu yang berpotensi membentur segala sesuatu di sekitarnya. Main-main karena ada semacam ignorance, ketakacuhan, dan tak mau menanggung akibatnya jika yang terkena lemparan itu “sakit”. Dengan kata lain, esai ini sudah sejak awal pasang kuda-kuda kultural yang mapan dengan secara tidak langsung ingin mengatakan: jangan sarik, ini hanya main-main. Atau, konon, dengan cara demikian, penulisnya menyadari adanya sesuatu yang mungkin keliru, karenanya sejak awal dia perlu mengakhiri tulisannya dengan cung..., dalam pengertian, “maaflah kalau aku salah.”

Pertama, dia risau, resah, dan gelisah melihat proses alienasi yang sedang berlangsung di kalangan generasi muda Banjar terhadap realitas budaya dan kearifan lokal mereka. Alienasi itu antara lain, menurut Jamal, diakibatkan oleh gempuran dahsyat budaya Barat dengan beragam variannya yang menggoda hasrat gaya hidup baru (new life style). Di samping itu budaya selebritis Jakarta (budaya nasional?) yang menyusup samar-samar masuk ke rumah-rumah orang Banjar melalui kotak ajaib yang bernama TV juga, oleh penulis sakindit kisdap Banjar ini, dianggap sebagai faktor lain yang ikut mengikis identitas “kebanjaran” orang Banjar (lihat paragraf ke-2 dan ke-3).

Mencurigai atau menyalahkan orang/budaya lain (Barat, Jakarta) semacam ini adalah sikap klise yang sering didengungkan dengan menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya rumit. Ada nuansa sikap pembenaran diri sendiri, penyederhanaan Barat atau Jakarta secara negatif, dan lupa bahwa potensi sikap kultural yang buruk sebenarnya juga berakar di sini. Kompleksitas bagaimana beragam pikiran orang Banjar menyerap, menerjemahkan, budaya luar agak kurang dihiraukan. Bukankah apa yang ada di segala sektor kehidupan orang Banjar dulu, kini, dan esok tidak sepenuhnya berasal dari Banjar? Tidak wajarkah ini sebagai proses silang budaya? Banjar belajar Barat dan Barat belajar Banjar.

Kedua, salah satu pihak yang pantas dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan budaya, terutama dalam hal cagar alam sastranya adalah lembaga pendidikan yang telah mengikrarkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memberikan perhatian terhadap keberadaan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah. Sayangnya, menurut narator imajiner dalam esai Jamal (yang bisa saja dibaca sebagai representasi suara penulis esai itu sendiri), kajian sastra Banjar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PS PBSID) yang ada di Banjar kurang mendalam dan terkesan sebagai disiplin tempelan belaka. Secara paradigmatik, kritik ini sangat jelas diarahkan oleh penulisnya ke almamaternya, di mana si penulis secara intens pernah mengkaji sastra Banjar dan menghasilkan tesis yang relatif monumental, berjudul Cerpen Banjar 1980-2000, Tinjauan Struktur, Isi dan Konteks Sosialnya. Menurut narator dalam esai Jamal, skripsi sastra si perpustakaan PS-nya, masih didominasi oleh kajian sastra Indonesia. Jamal (atau naratornya?) meninggalkan pertanyaan bagi kita: ketika sastra Banjar tak diminati mahasiswa, apa atau siapa yang salah, sastra Banjar, mahasiswa, dosennya atau pertanyaan yang semacam ini? (lihat paragraf ke-5).

Tidak ada yang patut disalahkan. Perkembangan minat dan perhatian terhadap sastra Banjar akan turut ditentukan waktu. Lagi pula posisi sastra daerah dalam PS PBSID tidak bermakna lokal tetapi sangat nasional. Artinya, mahasiswa dari daerah-daerah lain di Indonesia dapat mempelajari sastra Banjar, sastra daerahnya sendiri, ataupun sastra daerah lain di Indonesia.

Ketiga, ada kritik pedas bagi karya sastra yang ditulis oleh mahasiswa di Banjar. Mungkin dia merespons beberapa cerpen KCPM 2005 yang sempat hadir di Cakrawala setiap Minggu. Mungkin juga tidak. Menurutnya, cerpen karya mahasiswa itu jelek dan menggelikan. Tetapi dia harus tetap bersikap apresiatif agar generasi penerus tradisi sastra Banjar tak berkecil hati dan berhenti berkreasi (lihat paragraf ke-7). Tetapi, dalam logika tulisan cung parahu, kritik seacam itu tidak semata ditujukan kepada karya mahasiswa yang jelek, tetapi juga dilemparkan kepada karya sastrawan Banjar yang kualitas tulisannya masih setaraf dengan karya mahasiswa. Anjuran baiknya, siapapun sastrawan itu, jika ingin karyanya dibaca dan berbobot, harus banyak membaca karya-karya sastra dunia. Pendeknya, seniman tak boleh koler dan arogan (puas dengan apa yang telah dicapainya di situ-situ saja).

Keempat, dia mengaku punya serangkaian kiat untuk menulis sastra Banjar yang berbobot. Menurutnya, dalam kiatnya, sastra Banjar yang baik harus ditulis dalam bahasa Banjar yang baik, dalam pengertian bahasa Banjar yang kaya, variatif, kontemplatif, berwawasan, dan sebagainya, dan seterusnya. Dengan kata lain dia ingin mengatakan, sastrawan Banjar jangan sampai koler membaca jika karyanya ingin bermakna dalam, bermutu tinggi, dan akhirnya mampu menstimulasi minat pembaca, dan sekaligus penelitian sastra Banjar (lihat paragraf ke-8).

Dari keempat kesimpulan yang dapat saya catat ini, ada satu generalisasi utama yang agak gegabah dalam mendefinisikan sastra Banjar jika yang dimaksud oleh esai itu hanya sastra yang ditulis dalam bahasa Banjar. Esai Jamal tersebut tampaknya mampu melepaskan penulisnya dari kegalauan ketika dia harus mencoba mendefinisikan sastra Banjar untuk kepentingan akademik yang pernah dilaluinya. Mengapa tiba-tiba dia berbalik arah dan dengan mantap mengatakan bahwa bahasa Banjarlah identitas utama sastra Banjar.

Keyakinan ini jelas mengeksklusi, menyingkirkan, sekelompok karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Banjar dalam bahasa Indonesia. Asumsi teoretis ini mengingkari pengetahuan penulisnya sendiri tentang kompleksitas pendefinisian sastra Banjar seperti pernah dia tuliskan dalam tesisnya. Dalam tesisnya dia mengakui bahwa ada tiga kategori yang dapat digunakan untuk mendefinisikan sastra dalam hubungannya dengan persoalan hakikat identitasnya (seperti kategori bahasa, kewarganegaraan, dan orientasi sosiokultural).

Ketiganya merupakan realitas rumit yang saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, hakikat sastra Banjar tak semata dapat ditentukan secara mati dan pasti oleh faktor bahasanya saja, seperti halnya sinetron atau film yang berbahasa Indonesia tidak serta merta dapat dianggap sebagai karya sinema Indonesia. Penonton paling awam pun akan menolak menyebut film India sebagai film Indonesia meski seluruh tokoh dalam film itu telah mahir berbahasa Indonesia berkat jasa dubber (juru sulih suara).

Mengapa bisa demikian? Karena penonton bukan realitas pasif. Penonton pun punya pikiran aktif yang mampu mengidentifikasi ciri-ciri visual yang mereka tangkap sebagai bukan bagian dari realitas visual lokal mereka. Bahkan masih terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan lain untuk menggagas kategori lain dalam memahami definisi sastra Banjar demi kepentingan praktis tertentu.

Demikian pula dalam mendefiniskan sastra Banjar. Karya sastra berbahasa Banjar juga memiliki peluang untuk disebut bukan sebagai sastra Banjar. Seperti halnya Jamal mengatakan bahwa Si Palui itu bukan sastra Banjar karena ia hanyalah pembanjaran cerita dalam bahasa Indonesia. Pelajaran tentang bagaimana seharusnya kita menghadapi definisi sastra yang memang selalu berpotensi kabur dapat kita baca melalui penelitian George Quinn (1992) ketika dia meneliti novel berbahasa Jawa dalam disertasinya yang berjudul The Novel in Javanese.

Dalam seluruh uraiannya dia sama sekali tidak berani menyebut novel-novel yang ditelitinya sebagai novel Jawa, tetapi dengan penuh kehati-hatian dia menyebut novel-novel tersebut dengan istilah the novel in Javanese atau novel berbahasa Jawa. Untuk konsumsi pembaca koran, mungkin tidak ada bahaya sama sekali jika istilah sastra Banjar yang agak semena-mena itu ditawarkan. Tetapi, untuk penggunaan akademik, Quinn telah memberikan teladan agar jangan terlalu mudah menyimplifikasi persoalan yang sebenarnya rumit sebelum segala aspek evaluatif mengenai sastra Banjar yang sesungguhnya dipaparkan secara lengkap.

Sebenarnya sudah lama Terry Eagleton (dalam Literary Theory, An Introduction, 1988: 5-7) menjelaskan betapa rapuhnya jika kita mendefinisikan sastra dengan berlandaskan pada faktor bahasa semata. Secara metaforik, cara mendefinisikan sastra Banjar yang dilandaskan pada bahasa dapat dianalogikan dengan upaya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan sastra dan bukan sastra yang ngalih banar.

Eagleton menyimpulkan bahwa faktor bahasa sastra yang khas dan bahasa keseharian yang biasa adalah konsep yang bermasalah karena bahasa biasa yang dimaksud di sini diposisikan sebagai entitas homogen sehingga apa yang dianggap biasa menjadi ilusi. Batas antara bahasa yang biasa dan yang khas sebenarnya juga kabur karena bahasa sesungguhnya terdiri atas beragam variasi dan wacana, mengikuti keberagaman kelas sosial, daerah, dan jenis kelamin (Eagleton, 5-7).

Kenyataan semacam ini pun akan dihadapi oleh sastra Banjar. Penghuni sastra Banjar itu juga tidak sehomogen yang dibayangkan Jamal. Dalam konstelasi pemahaman sastra sebagai realitas bersama, pembaca yang aktif juga punya peran otoritatif untuk menyebut karya sastra yang seperti apa di banua ini yang layak disebut sebagai sastra Banjar. Dalam esainya Jamal telah memainkan peran otoritatifnya sebagai penulis yang relatif terkenal dan ingin mengidentikkan sastra Banjar dengan bahasa Banjar. Jika dipaksakan demikian, sastra Banjar menjadi rumah yang sangat eksklusif dan ngalih banar dimasuki oleh karya sastra berorientasi sosiokultural Banjar dan ditulis oleh warga Banjar dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar: